Asal-usul Masyarakat Ambon
Penduduk pulau Ambon adalah para pendatang yang berasal dari berbagai suku atau daerah. Dalam kalangan masyarakat Ambon dikenal istilah ”penduduk asli”, dan ”penduduk pendatang”. Penyebutan ”asli” digunakan bagi mereka yang pertama-tama datang dan mendiami pulau Ambon, sedangkan ”pendatang” ditujukan untuk mereka yang datang kemudian. Dalam pengertian seperti ini, maka dalam cerita-cerita rakyat, asal-usul penduduk asli digambarkan sebagai manusia yang mulia.
Frank L. Cooley menyebut kaum pendatang dengan sebutan ”pendatang lama”. Untuk membedakan dengan ”pendatang baru” yang oleh pertimbangan tertentu tidak memiliki hak yang sama dengan penduduk lama, umpamanya tidak memiliki hak atas tanah, kedudukan atau pergantian kekuasaan, dan dalam batas tertentu mereka adalah ”orang-orang asing” dan tetap demikian hingga saat ini.
Pendatang baru mungkin saja bisa berasal dari wilayah yang sama dengan penduduk asli dan oleh sebab itu mereka memiliki latar belakang kesukuan dan ke-budayaan yang sama. Namun karena watak tradisional masyarakat desa, mereka tidak dianggap sebagai anggota penuh.
Bertnard Vlekke mengemukakan teori kehadiran imigran Melayu ke kepulauan nusantara yang terdiri dari dua gelombang, yaitu gelombang pertama yang disebut Proto Melayu dan gelombang kedua yang disebut Doutro Melayu. Akibat persaingan memperebutkan hegemoni atas wilayah-wilayah tertentu maka kelompok Proto Melayu merasa terdesak lalu membentuk kelompok terkecil dan terpisah di daerah pedalaman, seperti orang Gayu dan Alas di Sumatera Utara dan Toraja di Sulawesi Selatan. Bernard Vlekke, (H.M. Saleh Putuhena, 1985: 11).
Di pulau Ambon kelompok masyarakat yang terpencil dan terpisah seperti ini disebut Nuaulu atau Alifuru [3]
Ziwar Effendi mengatakan bahwa sebagian besar penduduk Kota Ambon berasal dari pulau Seram yang disebut juga sebagai Nusa Ina atau Pulau Ibu.[4] Mereka yang leluhurnya berasal dari pulau Seram kebanyakan datang dari daerah selatan bagian tengah dan barat, yaitu daerah tiga buah aliran sungai, Eti, Tala, dan Sapalewa. Sungai-sungai tersebut berhulu atau bersumber pada sebuah pohon beringin besar yang dikenal dengan sebutan Nunusaku.[5]
Menurut Valentijn, terdapat empat kelompok pendatang yang mendiami daerah tertentu di bagian utara pulau Ambon. yang kemudian memainkan peran penting sampai datangnya bangsa Eropa di Ambon. Mereka adalah kelompok Totohatu, Tanahitumeseng, Nusatapi dan Pati Tuban.[6]
Menurut Manusama, keempat kelompok masyarakat ini kemudian membangun persekutuan bersama masyarakat Alifuru (Tomu, Hunut dan Mosapal) dengan nama Uli Halawan (golden gespanschap) atau Persekutuan Emas,[7] yang sangat ditakuti oleh bangsa Eropa, terutama perserikatan dagang Belanda, VOC.
Imam Rijali[8] adalah Tokoh dan Ulama Ambon yang berasal dari Tanahitu (pulau Ambon) dan hidup antara tahun 1590-1653 dalam tulisannya berjudul Hikayat Tanahitu[9]
menguraikan kedatangan kelompok awal masyarakat Ambon dalam bebe-rapa kisah, seperti pada Alkisah II beliau menguraikan :
Alkisah peri mengatakan bangsa Jawa, maka diceritrakan oleh yang empunya cerita tatkala raja Tuban diberikan kerajaan, maka tiada bersetia dan mufakat dengan kaum keluarganya, maka suatu kaum dua bersaudara seorang Kiyai Tuli namanya dan seorang Kiyai Dau dan seorang saudaranya perempuan, Nyai Mas namanya, ia naik serta kelengkapannya membawa dirinya mencari tempat kedudukannya. Hatta dengan kehendak Tuhan yang Maha Tinggi dibawa oleh angin dan arus datang ke Tanahitu.[10]
Dari penjelasan Imam Rijali di atas dapat dipahami bahwa telah terjadi perang mahkota di kerajaan Tuban yang menyebabkan beberapa orang anggota keluarga kerajaan harus keluar dari Tuban, dan menjadikan pulau Ambon (tanahitu) sebagai tempat tinggal baru.
Selain orang Jawa, Imam Rijali dalam kisah-kisah selanjunya menjelaskan pula tiga kelompok imigran lain yang datang dari berbagai wilayah dan mendiami daerah bagian Utara pulau Ambon, membuat koloni baru dan bahkan membentuk persekutuan besar yang dalam lintasan sejarah tercatat sangat berperan melawan ekspansi orang-orang Eropa, seperti Portugis dan Belanda, selama kurang lebih tiga abad.
Keuning menyebutkan bahwa pemimpin-pemimpin imigran ini dipandang sebagai nenek moyang bagi masyarakat Ambon dan mereka diberi gelar Totohatu untuk pemimpin imigran pertama yang datang dari Selang Binaur, pesisir Tenggara pulau Seram, Tanahitumesseng untuk pemimpin imigran yang datang dari Jawa (Tuban), Nusatapi untuk pemimpin imigran yang datang dari Jailolo dan Ki Pati bagi pemimpin imigran yang datang dari Gorom, daerah Seram bagian Timur.[11]
Kehadiran orang-orang Eropa pertama dan kemudian menjadi penduduk Ambon tidak dapat dipisahkankan dari kehadiran orang-orang Portugis dan Belanda pada abad ke 16. Hasrat untuk membangun benteng Victoria atau masyarakat setempat menyebutnya dengan Kotalaha bagi pertahanan kekuasaan portugis di Kota Ambon menyebabkan mereka mendatangkan bekas budak-budak mereka yang disebut orang Mardika (Merdeka ?). Negeri asal adalah India bagian Selatan atau Keling yang berkulit lebih hitam dari masyarakat Asia Tenggara yang berkulit sawo matang.[12]
Ketika Belanda menguasai Ambon maka Belanda mengambil alih orang-orang Mardika dan menjuluki mereka sebagai de growne geuzen yang berarti perintis atau penunjuk jalan dengaan membawa panji berwarna hijau, Gelar ini diberikan oleh persekutuan dagang Belanda VOC, karena pada setiap pelayaran hongi,[13] kora-kora[14] orang-orang Mardika berada paling depan dengan panji-panji berwarna hijau, dengan tugas sebagai perintis atau penunjuk jalan. Sampai saat ini kampung yang mereka tempati secara turun-temurun masih disebut kampung Mardika.
Orang-orang Buton juga merupakan pendatang yang telah lama mendiami setiap pelosok kota atau pulau Ambon. Kebanyakan dari mereka berasal dari pulau Binongko, salah satu pulau dari pulau-pulau Tukangbesi di selatan pulau Buton dan karena itu mereka dikenal atau disebut dengan orang Binongko.
Pendatang lain yang sudah lama berada dan menjadi penduduk Ambon adalah orang-orang Bugis Makassar. Bahkan pada abad ke 17 mereka telah berada di pulau Ambon khususnya di Tanahitu, bagian Utara pulau Ambon dalam kaitannya dengan ekspedisi militer di bawah pimpinan Karaeng Jipang untuk membantu masyarakat muslim Tanahitu melawan penjajah Belanda.
Orang-orang dari Minangkabau atau Sumatera Barat yang oleh orang Ambon lebih populer dengan nama ”orang Padang” juga menjadi bagian dari penduduk Ambon. Umumnya mereka adalah pedagang atau pengusaha rumah makan yang terkenal dengan nama ”Rumah makan Padang”. Ziwar Effendi menyebutkan bahwa kebanyakan mereka berasal dari kampung di sekitar Bukit Tinggi di lereng Gunung Merapi dan Singgalang, dikenal dengan nama Sungai Puar dan Banuhampu.[15]
Penduduk lain Kota Ambon yang jumlahnya tidak terlalu banyak adalah golongan bangsa Arab dan Cina. Golongan pertama boleh jadi datang ke Ambon dan
Maluku umumnya sangat terkait dengan perdagangan dan penyiaran agama Islam, sedangkan golongan kedua dapat dipastikan erat kaitannya dengan perdagangan yang sampai sangat ini masih digelutinya.
Orang-orang yang merupakan penduduk asli sekitar pulau Ambon, seperti pulau-pulau Lease, Seram, Buru, Manipa, dan lain-lain kemudian dengan alasan masing-masing memasuki pulau dan Kota Ambon sehingga menjadi penduduk Kota Ambon, yang selanjutnya disebut pula sebagai orang Ambon.
Para imigran yang memasuki pulau Ambon sejak abad XV sampai saat ini, mengindikasikan betapa hetrogennya masyarakat Ambon, yang ternyata memiliki adat-istiadat tertentu yang terkadang tidak dapat diikuti oleh kelompok pendatang lain, menyebabkan tumbuh suburnya beraneka ragam suku dan budaya (termasuk agama) yang terkadang mudah menimbulkan pertentangan bahkan permusuhan.
DAFTAR PUSTAKA
[1]Frank L. Cooley , Altar and Thron in Central Moloccan Society, Alih Bahasa Tim Satya Karya, Mimbar dan Tahta, Hubungan Lembaga-Lembaga Keagamaan dan Pemerintahan di Maluku Tengah, selanjutnya disebut Mimbar dan Tahta. Cet. I, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987, h. 4.
[2]Lihat Bernard Vlekke, Nusantara A History of Indonesia, dalam H.M. Saleh Putuhena, “Penyebaran Agama Islam di Maluku”, Laporan Hasil Penelitian, selanjutnya disebut laporan, Ujungpandang, BPPM IAIN Alauddin, 1985, h. 11.
[3]Sumber-sumber tradisi lisan menuturkan, kata Alifuru berasal dari kata Arab ﺍﻞ yang berarti keluarga dan ﻓﺮﻮﻉ yang berarti cabang. Secara implikatif kata ini bermakna kelompok masyarakat yang memisahkan diri dan menyendiri. Alifuru awalnya terbagi dua kelompok, yaitu Alune yang berdiam di Desa Riring dan Wemale yang berdiam di Desa Hunitetu. Kedua desa ini terletak di pulau Seram bagian Barat.
[4]Ziwar Effendi, Hukum Adat Ambon-Lease, selanjutnya disebut Hukum Adat. Cet I, Jakarta: Pradnya Paramita, 1987, h. 11.
[5]Nunusaku terdiri atas dua suku kata, yaitu nunu yang berarti beringin dan saku yang berarti pusaka. Kata yang berasal dari bahasa tanah masyarakat setempat secara implikatif berarti sebatang pohon beringin yang dianggap sakral dan sakti sehingga dihormati dan dipusakakan secara turun temurun.
[6]Lihat Valentijn dalam Manusama, Disertasi, op. cit., h. 23.
[7]Manusama, ibid.
[8]Dalam hikayat Tanahitu dirinya disebut dengan nama Rijali, Sifarijali dan Safa al-Rijali. Ia terkenal sebagai seorang penulis Islam Ambon (Maluku), dalam abad ke 17. Dilahirkan di Latin, sebuah hena atau aman yang terletak dibelakang negeri (desa) Hitulama sekarang ini.Tanggal lahirnya tidak diketahui pasti.menurut W.A. Saleky beliau hidup antara tahun 1585 – 1599, sedangkan menurut H.J. de Graaf menyatakan antara tahun 1590 – 1653. Menurut silsilah , Beliau adalah kemenakan Tepil, kapitan Hitu yang terkenal dari keturunan Perdana Jamilu. Beliau pernah menempuh pendidikan sebagai imam di Jepara.
Banyak pahlawan dan orang-orang terkenal di Ambon, Makassar dan Batavia yang dikenalnya secara baik begitu pula pejabat-pejabat VOC yang berkantor di Ambon an Batavia. Ketika benteng Kapahaha di Tanahitu jatuh ketangan Belanda beliau dan beberapa pejuang Hitu berhasil lolos daro benteng tersebut. Bahkan Rijali berhasil menyeberang ke Makassar dan tinggal dengan Karaeng Patingaloan sampai belia menulis buku Hikayat Tanahitu atas saran dan pasilitas dari Karaeng Patingaloan.
Berbagai Julukan diberikan kepadanya, mulai dari pa hlawan, pengarang, sastrawan, maupun sejarawan. Lihat M.G. Ohorella Hukum Adat Menganai Tanah dan Air di Pulau Ambon dan Sumbangannya terhadap Pembangunan Hukum Agraria Nasional (UUPA), Disertasi, Ujungpandang: Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin, 1993, h. 61-63.
[9]Hikayat ini menguraikan peristiwa yang terjadi dalam kurun waktu kurang lebih dua abad, yaitu kira-kira tahun 1450-1646 M dan ditulis di Makassar (Kerajaan Gowa) antara tahun 1646-1657 M dan terbagi dalam tiga kurun waktu:
Pertama : Tahun 1450-1512 M mulai dengan kedatangan para imigran ke Tanahitu kemudian menetap dan mengembangkan keturunan dan masyarakatnya sampai tibanya bangsa Portugis di tahun 1215 M. Periode ini tertulis di dalam 11 kisah termasuk (halaman pertama yang hilang/rusak) termuat dalam 181/2 halaman.
Kedua : Tahun 1512-1605 M. Periode Portugis, dimulai dengan kedatangan pertama orang-orang portugis berbagai peperangan antara orang Tanahitu dan orang-orang portugis hingga mereka meninggalkan Ambon pada tahun 1605 M. Peiode ini dilukiskan dalam sepuluh kisah yang termuat dalam 201/2 halaman.
Ketiga : Tahun 1605-1646 M. Periode belanda, yang dimulai dengan pengambilalihan pulau ambon oleh Van der Hagen pada tanggal 22 Februari 1605 M., hingga runtuhnya benteng Kapahaha yang merupakan benteng pertahanan terakhir orang-orang Tanahitu ke tangan Belanda pada tanggal 25 Juli 1646 yang sekaligus menandai berakhirnya kekuasaan pemerintahan “Empat Perdana (Upu Hata) di Tanahitu. Periode ini sangat pendek dan tidak lebih dari 6 kisah namun uriannya panjang karena termuat dalam 68 halaman.
Manusama, Disertasi, op. cit, h. 18. Photo copy transkrip Hikayat Tanahitu kini tersimpan pada orang kayaTanahitumessing, Raja Abdullah Pelu.
[10]Lihat Imam Rijali dalam Manusama, op.cit, h. 156.
[11]J. Keuning, Ambonezzen Portugezen Ennederlanndes, Ambon’s Geschdenis tot het einde Van de Zeventiende eeuw, ahli bahasa S. Gunawan, Sejarah Ambon sampai Pada Akhir Abad ke 17, selanjutnya disebut Sejarah Ambon, Jakarta: Bhratara, 1973, h. 9.
[12]Ziwar Effendi, Hukum Adat, op. cit., h. 14.
[13]Hongi dalam bahasa daerah setempat dapat diartikan sebagai suasana kacau balau. Istilah ini kemudian digunakan oleh pasukan belanda dalam pelayaran untuk memusnahkan beribu-ribu pohon cengkeh, adayang ditebang, dibakar, ada pula yang dikuliti batangnya. Hal ini dilakukan sebagai balasan atas tindakan orang-orang Tanahitu yang hanya mau menjual hasil cengkehnya kepada pedagang-pedagang Makassar dan Jawa yang mampu memberikan harga yang tinggi. Sementara Belanda (VOC) membelinya dengan harga yang sangat rendah.
[14]Kora-kora adalah perahu tradisioanal orang-orang Tanahitu (pulau Ambon) yang biasa dipakai oleh Belanda untuk perjalanan Hongi. Setiap pelayaran Hongi terdiri atas 30 sampai 40 buah kora-kora yang mampu memuat sampai 3000 orang dengan tugas selain mengayuh kora-kora juga dipakai untuk menebang pohon-pohon cengkeh.
[15]Ziwar Effendi, Hukum Adat, op. cit., h. 24.
Rabu, 25 Mei 2016
Asal Usul Penduduk di Pulau Ambon
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar