Sabtu, 09 September 2017

KEMUNDURAN SEBUAH NEGARA KARENA KEMUNDURAN PENDIDIKANNYA

KEMUNDURAN SEBUAH NEGARA KARENA KEMUNDURAN PENDIDIKANNYA

Rizal Al-Fays Angkotasan


"Ceritakan padaku, kondisi pendidikan di Negaramu maka, akan aku jelaskan tingkat kemakmuran masyarakat di Negaramu, Hukum di Negaramu, Politik di Negaramu, dan Perekonomian di Negaramu, Tanpa harus mendatangi negaramu terlebih dahlu"

Sebelum kita membahas mengenai pendidikan mari sejenak kita melihat Negara kita yang sama-sama kita cintai, Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kita adalah negara yang besar, kaya dengan sumber daya alam, nikel, batu bara, minyak, besi, gamping, emas, gas, uranium semunya ada. Tanah kita begitu subur bahkan tongkat ditanam bisa tumbuh menjadi pohon, laut kita terdapat jutaan jenis ikan, apa yang kurang di negara kita, semuanya ada. Tetapi yang membuat kita tidak pernah maju, karena kualitas pendidikan kita juga tidak pernah baik.

Mari sejenak kita pelajari tentang sejarah Indonesia sedikit. Pada masa kekuasaan Imprelisme Eropa di Nusantara, banyak sekali perlawanan masyarakat diberbagai wilayah di Nusantara untuk melawan bangsa Eropa, pada tahun 1570-1575 bangsa Eropa dalam hal ini Portugis telah dikepung selama 5 Tahun oleh Sultan Babbullah di Ternate sehingga Portugis terdesak dan keluar meninggalkan Ternate. Setelah itu bangsa Eropa lainnya silih berganti Spanyol, Inggris dan Belanda melakukan berbagai penjajahan. Namun bangsa Indonesia yang begitu besar tidak mampu mengusir orang Belanda pada saat itu. Apa yang membuat Belanda begitu kuat ..? Yang membuat Belanda begitu kuat adalah kepintaran mereka dalam memecah belah kekuatan kita. Mereka mampu menciptakan perang hanya dengan mengadu domba masyarakat antara satu wilayah, dengan wilayah lainnya dengan politik devide et impera. Banyak sekali perlawanan yang dilakukan untuk melawan Belanda tetapi, tidak berhasil mengusir Belanda pada saat itu. Namun salah satu kesalahan terbesar Belanda adalah memberikan pendidikan kepada bangsa Indonesia pada saat itu. Secara resmi pendidikan dibuka oleh pemerintah Belanda di Indonesia (Hindia Belanda) pada tahun 1901. Pada tahun 1901 ketika Ratu Welhilmina menyampaikan pidato kenegaraannya yang berbunyi :

“Negeri Belanda mempunyai kewajiban untuk mengusahakan kemakmuran pada penduduk Hindia Belanda”.

Demikian pidato tersebut menandai awal kebijakan memakmurkan Hindia Belanda yang dikenal sebagai Politik Etis atau Politik Balas Budi. Politik Etis di Hindia Belanda ketika itu, setidaknya diwarnai oleh sosok-sosok mereka, baik sebagai inisiator, fasilitator, eksekutor maupun kritikus dari kebijaksanaan tersebut. Nah berikut ini tokoh-tokoh Belanda yang mewarnai Politik Etis diantaranya yaitu:

Eduard Douwes Dekker “1820-1887”
Pieter Brooshooft “1845-1921”
Conrad Theodore van Deventer “1857-1915”
Jacques Henrij Abendanon “1852-1925”
Dr. Douwes Dekker “1879-1950”. 

Melalui trias political Sehingga masyarakat Indonesia mulai mengenal pendidikan dan dapat melakukan perlawanan secara diplomasi. Kebangkitan masyarakat Indonesia pada saat itu tidak terlepas dari adanya pendidikan.

Saat ini pendidikan di negara kita kurang diperhatikan secara serius dimulai dari tingkat pemerintah pusat hingga pemerintah daerah. Maluku misalnya secara sistematis pemerintah daerah maupun pemerintah pusat tidak memperhatian masalah pendidikan, sehingga Provinsi Maluku merupakan salah satu Provinsi termiskin di Indonesia. Jika kita lihat melalui catatan sejarah Provinsi Maluku merupakan Provinsi tertua yang dibentuk pada tahun 1945 tepatnya bulan Agustus tanggal 18. Sehari setelah Indonesia merdeka. Usianya sama dengan usia negara ini. Penyebabnya karena masyarakat Maluku masih banyak yang tidak berpendidikan. Lebih parah lagi pemerintah Provinsi Maluku tidak memperhatikan generasi mudanya sehingga Maluku masih minim sumber daya manusianya. Kualitas pendidikan di Maluku tidak bermutu, hal ini dikarenakan berbagai faktor misalnya : Kualitas Guru, dan gaji guru. Kualitas guru di Maluku tidak berkualitas dibuktikan dengan Uji Kompetensi Guru di Indonesia yang dilaksanakan di Bali pada tahun 2016 Maluku berada di urutan 32 dari 34 Provinsi di Indonesia. Hal ini dikarenakan kebanyakan guru yang mengajar di sekolah bukan berasal dari latar belakang pendidikan guru sehingga faktor ini memiliki pengaruh terhadap pendidikan di Maluku. Gaji guru yang kecil sehingga guru tidak fokus untuk belajar, setelah pulang sekolah guru kebayakan bekerja sebagai tukang ojek, penjual gorengan dan kerja sampingan lainnya untuk mecukupi kebutuhan keluarga. Guru honor dibayar 300 ribu perbulan dan itu diambil 3 bulan sekali.  Sedangkan guru honorer dibayar 1,15.000 perbulan. Berapa gaji guru PNS...? Guru PNS Gajinya dibayar tergantung tinggi rendahnya golongannya.

Faktor-faktor tersebut di atas merupakan salah satu indikator dari banyaknya indikator yang menjadi landasan kemunduran pendidikan di Maluku. Pemerintah Maluku tidak memiliki upaya tertentu dalam memperbaikai kualitas pengajar. Coba Pemerintah menggaji guru debgan bayaran yang mahal, disediakan segala fasilitas. Setelah itu diberikan tugas dengan target tertentu, jika guru mengajar tidak baik dan target yang ditentukan tidak terpenuhi maka guru-guru tersebut harus diberhentikan. Sehingga kualitas guru dan mutu pendidikan biasa baik. Dengan begitu Maluku akan melahirkan berbagai ilmuan dan perkembangan yang begitu maju dalam 20 tahun ke depan.

Mari kita menengkok dan coba kita bandingkan negara tetangga kita Singapura dengan negara Indonesia. Di Singapura  miskin SDA tapi pendapatan per kapitanya 13X lipat dari Indonesia.

Singapura sama sekali tidak memiliki sumber daya alam (SDA) namun negara tersebut memiliki industri berbasis SDA sehingga membuat negara tersebut maju dan rata-rata pendapatan per kapita warganya mencapai US$ 48. 595 per orang per tahun. Sementara Indonesia, yang merupakan negara kaya SDA, rata-rata pendapatan per kapita warganya hanya US$ 3.452 per orang per tahun. Artinya pendapatan perkapita Singapura kurang lebih 13 kali lipat dari rata-rata pendapatan per kapita Indonesia. "Ya walaupun Singapura tidak punya SDA sama sekali baik itu batubara, nikel, tembaga, dan lainnya, tapi Singapura punya industri yang berbasis SDA dan maju semua," penjelasan ini diungkap oleh Sesditjen Mineral dan Batubara (Minerba) Harya Adityawarman di acara Coffee Morning Talk, di Hotel Dharmawangsa, Jumat (3/5/2013).

Menurut Harya, Singapura mendapatkan pasokan bahan baku SDA semuanya dari impor. Pasokan bahan baku tersebut pemerintah Singapura benar-benar membangun segala infrastruktur untuk memajukan industri olahan sehingga menghasilkan nilai tambah. "Dampaknya tentu ekonomi negara tersebut maju, bahkan dibandingkan negara di Asia yang impor SDA, GDP Singapura mencapai US$ 48.595 per kapita," ungkapnya. Selain Singapura, negara-negara lain di Asia yang mengandalkan impor SDA dari negara lain dan mempunyai industri berbasis SDA yang maju dan meningkatkan GDP masyarakatnya, antara lain: Korea Selatan, GDP US$ 23,639 per kapita.

Apa yang membuat negara ini maju...???
Tentunya maju sebuah negara tidak bisa dilepas pisahkan dari kualitas pendidikannya :

Negara dengan Kualitas pendidikan yang terbaik saat ini berdasarkan survei dari The Social Progess Imperative. Menempatkan
1. Negara Korea Selatan berada diurutan pertama dengan kualitas pendidikan yang terbaik di dunia. Penyebabnya karena anggaran untuk pendidikan sebesar 11 Miliar Dolar atau setara dengan 150 Triliun Rupiah.  Berapa anggaran untuk pendidikan kita ...?. Anggaran pendidikan kita sebesar 416.1 Miliar atau sebesar 20% dari APBN kita.

Negara dengan Pendidikan terbaik berikutnya adalah :
2. Negara Singapura sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa Singapura tidak memiliki Sumber Daya Alam seperti Indonesia namun pendapatan perkapita masyarakatnya 13 x lipat dari pendapatan perkapita masyarakat Indonesia. Lalu apa yang membuat negara ini begitu maju...? Dengan tingkat pendidikan terbaik kedua di Dunia..??. Faktor yang mempengaruhi pendidikan adalah kualitas guru dan gaji guru. Berapa gaji guru di Singapura..?. Di negara Singapura guru di Gaji 512.000.000 juta pertahun atau sebulan, guru mendapatkan gaji lebih dari 42 juta rupiah setiap bualan.

Negara Dengan pendidikan terbaik berikutnya adalah :
3. Negara Finlandia, merupakan salah satu negara dengan kualitas terbaik ketiga di dunia. Bahkan beberapa survei menempatkan Finlandia sebagai negara dengan pendidikan terbaik no satu di dunia. faktor penyebabnya kenapa negara Finlandia merupakan salah satu negara dengan tingkat pendidikan terbaik di Dunia..?. Anda tentunya kaget kalau di Finlandia siswa hanya bersekolah  selama 4-5 jam tidak ada yang namanya ujian nasional. Negara mengembalikan tanggung jawab pendidikan kepada guru. Di Finlandia Guru mendapatkan segala fasilitas dari pemerintah seperti rumah, mobil, dan berbagai kebutuhan lainnya namun di Finlandia yang harus mengajar atau menjadi guru adalah lulusan S2/ magister. Dan lulusan S2 yang bisa mengajar adalah lulusan terbaik dari 10 Universitas terbaik di Finlandia atau Universitas terbaik di Dunia dengan kelulusan masuk dalam 10 besar lulusan terbaik yang berada di setiap kampus terbaik di Finlandia. Kalau di Indonesia yang lulus SMA bisa honor di SMP dan lulusan SMP bisa honor di SD. Ini potret pendidikan di Maluku dan di Indonesia pada umumnya. Di Finlandia guru yang mengajar diberikan segala fasilitas oleh negara. Pemerintah di negara tersebut menyadari bahwa kesejateraan guru merupakan salah satu langkah dalam kemajuan pendidikan yang akan beradampak pada kemajuan negara tersebut. Sedangkan di Indonesia atau di Maluku guru yang telah honor puluhan tahun gajinya tetap 300 ribu dan paling besar 750 ribu itu untuk honor. Selama puluhan tahun guru-guru mengajar banyak dari mereka tidak diangkat menjadi PNS. Jangankan PNS guru honor yang akan menjadi Honorer saja sagat susah. Hal ini dapat menciptakan kemiskinan pada kaum terpelajar. bahkan kondisi guru-guru di Maluku rata-rata belum memiliki tempat tinggal. Sebagian tempat tinggal mereka adalah warisan orang tua. Ini kenyataan yang saya lihat secara langsung terkait dengan kondisi pendidikan di Maluku.

Pergerakan dari ormas di Maluku yang bergerak dibidang pendidikan belum dirasakan bahkan belum memiliki kontribusi terhadap pendidikan di Maluku. Masyarakat Maluku lebih memilih untuk hidup secara individualisme tanpa melihat kondisi masyarakat Maluku secara kolektif. Jika kita bisa merubah pendidikan di Maluku menjadi lebih baik, maka Maluku akan maju lebih dari provinsi lainnya. Di Indonesia bahkan bisa menjadi salah satu provinsi dengan kualitas pendidikan terbaik di Dunia. Namun sekali lagi saya tegaskan bahwa masyarakat Maluku belum menyadari tentang pentingnya pendidikan. Oleh karena itu mari kita tanamkan pemahaman tentang pentingnya pendidikan bagi masyarakat.

Sejarah mengingatkanku pada sebuah kisah nyata dimana nabi Muhammad SAW. Menerimah wahyu pertama di sebuah gua di Mekkah yang dikenal dengan nama Gua Hira. Pada saat itu wahyu yang disampaikan berkaitan dengan Pendidikan, kata perintah yang pertama yaitu Iqra yang artinya bacalah. Dalam suarat Al-Alaq tersebut kata perintah untuk membaca diulangi sebanyak dua kali. yaitu pada ayat pertama dan ayat ketiga.

Dalam sebuah hadist Rasul menyampaikan kepada kita : Ut'lubul ilma minal mahdi ilal ahdi. Artinya : tuntutlah ilmu dari buain hingga meninggal dunia. Konsep tersebut menjadi aktual setelah Paul Lengrand menulis sebuah buku yang berjudul : An Introduction to Lifelong Education, pada tahun 1970. Dan kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh UNESCO. Sebagai asas pendidikan seumur hidup.

Ambon, 10 November, 2017.

Penulis   : Rizal Al-Fays Angkotasan, S.Pd.
Alumni    : Universitas Pattimura Ambon
Fakultas : KIP
Jurusan  : Pendidikan Sejarah.


Rabu, 06 September 2017

Ulang Tahun Kota Ambon Yang Kehilangan Jejak Sejarahnya.


Rizal Angkotasan



Hampir setiap tahun pemerintah Kota Ambon merayakan Hari Lahir Kota Ambon yang diperingati setiap tanggal 7 September jika kita mempelajari tahunnya ditetapkannya tahun 1575 sebagai tahun lahir kota Ambon. Ketika anda pelajari lebih lanjut pada tanggal 7 September 1575 tidak ada peristiwa sejarah yang berkaitan dengan hari lahir kota Ambon. Hal ini perlu diluruskan sehingga kita tidak hidup dalam kebohongan sejarah yang salah terus-menerus. Menurut Joseph Goebbelz " Kebohongan jika diucapkan sekali maka kebohongan itu akan menjadi kebohongan, jika kebohongan diucapkan terus menerus, kebohongan itu akan dianggap sebagai kebenaran. Pernyataan Joseph di atas tersebut sedang dipraktekan oleh pemerintah kota Ambon saat ini kepada masyarakat kota Ambon. Dimana setiap tahunnya mereka memperingati hari lahir kota Ambon secara terus-menerus pada tanggal 7 September. Saat ini tahun 2017 hari jadi kota Ambon tepat berusia 442 Tahun. Yang dihitung mulai pada tahun 1575. Apakah semua itu benar dan sesuai dengan sejarahnya..?. Pada tahun 1575 ditetapkan sebagai hari jadi kota Ambon dengan alasan bahwa pada tahun 1575 adalah Tahun berdirinya benteng "Nossa Senhora da Anunciada". Lalu apakah benteng tersebut berdiri pada tanggal 7 September Dan pada tahun 1575.. ?.

Menurut catatan sejarah diketahui bahwa Portugis dikepung selama 5 tahun di Ternate oleh Sultan Babbullah yang dimulai pada tahun 1570-1575. Pada tahun 1575 Portugis menyerah kepada Sultan Babbullah dan mereka meninggalkan Ternate, sebagian berangkat ke Tidore dan sebagian berangkat menuju Pulau Ambon. Setelah tiba di Ambon beberapa bulan kemudian Portugis kemudian mengumpulkan masyarakat Kota Ambon untuk mencari Batu selama beberapa bulan. Dan pada tanggal 25 Maret 1576 barulah benteng Portugis dibangun yang ditandai dengan peletakan batu pertama oleh Kapten Sancho de Vasconcelos. Ia merupakan fungsionaris terlama yang ditempatkan di Maluku untuk menjalankan tugas Portugis (1572-1591). Data tersebut ditemukan pada April 1928 berjudul (Traktat Pulau-Pulau Maluco) berkode Filip 18 ramo 2 no 46 tahun 1601 AGI. Arsip ini tersimpan di Kota Seville Spanyol (Schurhammer, 1970). Arsip ini ditemukan di Spanyol karena pada tahun 1580-1640 Portugis dan Spanyol pernah menjadi satu negara yang dikepalai oleh Raja Philips III.

Jadi hari lahir kota Ambon pada 7 September dan penetapan tahun 1575 merupakan bentuk kehilangan jejak Historis yang sebenarnya. Terkair dengan Hari lahir kota Ambon. Karena pada tahun 1575 Portugis baru menuju Pulau Ambon. Untuk membangun Benteng Nossa Senhora de Anunciada Portugis harus mengumpulkan masyarakat kota Ambon terlebih dahulu untuk mengangkat Batu dan Pasir serta Kapur dan Putih Telur untuk membangun benteng tersebut. Oleh karena itu sangat tidak logis jika Portugis langsung memerintahkan masyarakat untuk membantu Portugis membangun benteng tersebut tanpa melalui proses komunikasi yang baik terlebih dahulu dengan masyarakat di sekitar lokasi benteng tersebut. Sebab Portugis telah belajar banyak dari kesalahan mereka di Ternate yang membuat merekah diusir dari Ternate oleh Sultan Babbullah pada 1575.

Penetapan tanggal 7 September dipilih karena pada tanggal tersebut dikeluarkannya SK Gubernur Genderal Hindia Belanda pada 7 September yang mengesahkan dewan kota {gemeenteraad}. Yaitu perwakilan anggota dewan dari masyarakat kota Ambon untuk bersuara di parlemen kota Ambon dengan Belanda. Penentuan Kelahiran tersebut dilakukan oleh forum akademisi Universitas Pattimura Ambon pada tahun 1972. Yang menetapkan sejarah lahirnya kota Ambon pada 7 September 1575. Tanggal tersebut diperinggati hingga kini tanpa memahami sejarah dengan benar.

Sebuah surat Kapten Estevano Teixeira de Macedo tanggal 2 Juni 1601. Surat tersebut menjelaskan tentang tanggal dan tahun berdirinya Kota Ambon dengan sebutan 《 Cidade de Amboino 》.  De Macedo adalah Kapten Nossa Senhora de Anunciada yang menjabat sebelum kapten terakhir Gaspar de Melo. Kapten Gaspar de Melo adalah Kapten terakhir yang menyerahkan benteng ini kepada Belanda tahun 1605. Dalam suratnya dia menulis bahwa benteng tersebut pertama kali diletakan batu pertama oleh Kapten Sancho de Vasconcelos pada 25 Maret 1576. Di Dataran Hunipopu. Jadi penetapan tahun 1575 merupakan cara menghapus jejak sejarah berdirinya benteng tersebut secara sistematis oleh kaum intelektual pada saat itu. Apalagi menempatkan tanggal 7 September adalah sebuah keanehan. Kenapa keanehan karena satu-satunya kota di Indonesia atau mungkin di dunia ini yang lahir pada tanggal lain dan diperingati pada tanggal lain hanyalah kota Ambon. Bahkan tahunnya juga lain. Sebelum Kota ini lahir tahunnya sudah ada terlebih dahulu. Yaitu tahun 1575 padahal benteng ini baru dibangun pada tahun 1576. Benteng ini oleh masyarakat kota Ambon pada saat itu dengan sebutan Benteng Kota Laha. Sedangkan orang Portugis menetapkan nama benteng ini dengan sebutan Benteng Nossa Senhora de Anunciada. Yang artinya Maria mendapat Kabar Kelahiran Yesus dari Malaikat Gabriel. Setelah Hitu melakukan penyerangan terhadap Portugis dan berhasil mengalahkan Portugis melalui bantuan dari Belanda maka, orang Belanda kemudian memberikan nama benteng itu dengan sebutan Victoria. Yang dalam Bahasa Belanda artinya kemenangan. Benteng ini diserahkan oleh Portugis kepada Belanda pada tahun 1605. Jadi selama ini kita memperingati Hari Lahir Kota Ambon yang tidak sesuai dengan sejarahnya. Seharusnya ulang tahun kota Ambon diperingati setiap tanggal 25 Maret sesuai peletakan bantu pertama pembangunan benteng tersebut. Bukan 7 Septenber. Dan Tahun ini seharusnya usia kota Anbon baru berusia 441 tahun. Karena benteng didirikan pada tahun 1576 bukan 1575.

Ambon, Kamis 7 September, 2017.

Penulis : Rizal Angkotasan, S.Pd

Alumni Pendidikan Sejarah. Universitas Pattimura Ambon.


Rabu, 25 Mei 2016

Asal Usul Penduduk di Pulau Ambon

Asal-usul Masyarakat Ambon


Penduduk pulau Ambon adalah para pendatang yang berasal dari berbagai suku atau daerah. Dalam kalangan masyarakat Ambon dikenal istilah ”penduduk asli”, dan ”penduduk pendatang”. Penyebutan ”asli” digunakan bagi mereka yang pertama-tama datang dan mendiami pulau Ambon, sedangkan ”pendatang” ditujukan untuk mereka yang datang kemudian. Dalam pengertian seperti ini, maka dalam cerita-cerita rakyat, asal-usul penduduk asli digambarkan sebagai manusia yang  mulia.           


Frank L. Cooley menyebut kaum pendatang dengan sebutan ”pendatang lama”. Untuk membedakan dengan ”pendatang baru” yang oleh pertimbangan tertentu tidak memiliki hak yang sama dengan penduduk lama, umpamanya tidak memiliki hak atas tanah, kedudukan atau pergantian kekuasaan, dan dalam batas tertentu mereka adalah ”orang-orang asing” dan tetap demikian hingga saat ini.


Pendatang baru mungkin saja bisa berasal dari wilayah yang sama dengan penduduk asli dan oleh sebab itu mereka memiliki latar belakang kesukuan dan ke-budayaan yang sama. Namun karena watak tradisional masyarakat desa, mereka tidak dianggap sebagai anggota penuh.


Bertnard Vlekke mengemukakan teori kehadiran imigran Melayu ke kepulauan nusantara yang terdiri dari dua gelombang, yaitu gelombang pertama yang disebut Proto Melayu dan gelombang kedua yang disebut Doutro Melayu. Akibat persaingan memperebutkan hegemoni atas wilayah-wilayah tertentu maka kelompok Proto Melayu merasa terdesak lalu membentuk kelompok terkecil dan terpisah di daerah pedalaman, seperti orang Gayu dan Alas di Sumatera Utara dan Toraja di Sulawesi Selatan. Bernard Vlekke, (H.M. Saleh Putuhena, 1985: 11).


Di pulau Ambon kelompok masyarakat yang terpencil dan terpisah seperti ini disebut Nuaulu atau Alifuru [3]

Ziwar Effendi mengatakan bahwa sebagian besar penduduk Kota Ambon berasal dari pulau Seram yang disebut juga sebagai Nusa Ina atau Pulau Ibu.[4] Mereka yang leluhurnya berasal dari pulau Seram kebanyakan datang dari daerah selatan bagian tengah dan barat, yaitu daerah tiga buah aliran sungai, Eti, Tala, dan Sapalewa. Sungai-sungai tersebut berhulu  atau bersumber pada sebuah pohon beringin besar yang dikenal dengan sebutan Nunusaku.[5]

Menurut Valentijn, terdapat empat kelompok pendatang yang mendiami daerah tertentu di bagian utara pulau Ambon. yang kemudian memainkan peran penting sampai datangnya bangsa Eropa di Ambon. Mereka adalah kelompok Totohatu, Tanahitumeseng, Nusatapi dan Pati Tuban.[6] 
Menurut Manusama, keempat kelompok masyarakat ini kemudian membangun persekutuan bersama masyarakat Alifuru (Tomu, Hunut dan Mosapal) dengan nama Uli Halawan (golden gespanschap) atau Persekutuan Emas,[7] yang sangat ditakuti oleh bangsa Eropa, terutama perserikatan dagang Belanda, VOC.

Imam Rijali[8] adalah Tokoh dan Ulama Ambon yang berasal dari Tanahitu (pulau Ambon) dan hidup antara tahun 1590-1653 dalam tulisannya berjudul Hikayat Tanahitu[9] 
menguraikan kedatangan kelompok awal masyarakat Ambon dalam bebe-rapa kisah, seperti pada Alkisah II beliau menguraikan :

Alkisah peri mengatakan bangsa Jawa, maka diceritrakan oleh yang empunya cerita tatkala raja Tuban diberikan kerajaan, maka tiada bersetia dan mufakat dengan kaum keluarganya, maka suatu kaum dua bersaudara seorang Kiyai Tuli namanya dan seorang Kiyai Dau dan seorang saudaranya  perempuan, Nyai Mas namanya, ia naik serta kelengkapannya membawa dirinya mencari tempat kedudukannya. Hatta dengan kehendak Tuhan yang Maha Tinggi dibawa oleh angin dan arus datang ke Tanahitu.[10]

Dari penjelasan Imam Rijali di atas dapat dipahami bahwa telah terjadi perang mahkota di kerajaan Tuban yang menyebabkan beberapa orang anggota keluarga kerajaan harus keluar dari Tuban, dan menjadikan pulau Ambon (tanahitu) sebagai tempat tinggal baru.

Selain  orang  Jawa,  Imam  Rijali  dalam kisah-kisah selanjunya menjelaskan pula tiga kelompok imigran lain yang datang dari berbagai wilayah dan mendiami daerah bagian Utara pulau Ambon, membuat koloni baru dan bahkan membentuk  persekutuan besar yang dalam lintasan sejarah tercatat sangat berperan melawan ekspansi orang-orang Eropa, seperti Portugis dan Belanda, selama kurang lebih tiga abad.

Keuning menyebutkan bahwa pemimpin-pemimpin imigran ini dipandang sebagai nenek moyang bagi masyarakat Ambon dan mereka diberi gelar Totohatu untuk pemimpin imigran pertama yang datang dari Selang Binaur, pesisir Tenggara pulau Seram, Tanahitumesseng untuk pemimpin imigran yang datang dari Jawa (Tuban), Nusatapi  untuk pemimpin imigran yang datang dari Jailolo dan Ki Pati bagi pemimpin imigran yang datang dari Gorom, daerah Seram bagian Timur.[11]

Kehadiran orang-orang Eropa pertama dan kemudian menjadi penduduk Ambon tidak dapat dipisahkankan dari kehadiran orang-orang Portugis dan Belanda pada abad ke 16. Hasrat untuk membangun benteng Victoria atau masyarakat setempat menyebutnya dengan Kotalaha bagi pertahanan kekuasaan portugis di Kota Ambon menyebabkan mereka mendatangkan bekas budak-budak mereka yang disebut orang Mardika (Merdeka ?). Negeri asal adalah India bagian Selatan atau Keling yang berkulit lebih hitam dari masyarakat Asia Tenggara yang berkulit sawo matang.[12]

Ketika Belanda menguasai Ambon maka Belanda mengambil alih orang-orang Mardika dan menjuluki mereka sebagai de growne geuzen yang berarti perintis atau penunjuk jalan dengaan membawa panji berwarna hijau, Gelar ini diberikan oleh persekutuan dagang Belanda VOC, karena pada setiap pelayaran hongi,[13] kora-kora[14] orang-orang Mardika berada paling depan dengan panji-panji berwarna hijau, dengan tugas sebagai perintis atau penunjuk jalan. Sampai saat ini kampung yang mereka tempati secara turun-temurun masih disebut kampung Mardika. 

Orang-orang Buton juga merupakan pendatang yang telah lama  mendiami setiap pelosok kota atau pulau Ambon. Kebanyakan dari mereka berasal dari pulau Binongko, salah satu pulau dari pulau-pulau Tukangbesi di selatan pulau Buton dan karena itu mereka dikenal atau disebut dengan orang Binongko.

Pendatang lain yang sudah lama berada dan menjadi penduduk Ambon adalah orang-orang  Bugis Makassar. Bahkan pada abad ke 17 mereka telah berada di pulau Ambon khususnya di Tanahitu, bagian Utara pulau Ambon dalam kaitannya dengan ekspedisi militer di bawah pimpinan Karaeng Jipang untuk membantu masyarakat muslim Tanahitu melawan penjajah Belanda.

Orang-orang dari Minangkabau atau Sumatera Barat yang oleh orang Ambon lebih populer dengan nama ”orang Padang” juga menjadi bagian dari penduduk Ambon. Umumnya mereka adalah pedagang atau pengusaha rumah makan yang terkenal dengan nama ”Rumah makan Padang”. Ziwar Effendi menyebutkan bahwa kebanyakan mereka berasal dari kampung di sekitar Bukit Tinggi di lereng Gunung Merapi dan Singgalang, dikenal dengan nama Sungai Puar dan Banuhampu.[15]

Penduduk lain Kota Ambon yang jumlahnya tidak terlalu banyak adalah golongan bangsa Arab dan Cina. Golongan pertama boleh jadi datang ke Ambon dan

Maluku umumnya sangat terkait dengan perdagangan dan penyiaran agama Islam, sedangkan golongan kedua dapat dipastikan erat kaitannya dengan perdagangan yang sampai sangat ini masih digelutinya.

Orang-orang yang merupakan penduduk asli sekitar pulau Ambon, seperti pulau-pulau Lease, Seram, Buru, Manipa, dan lain-lain kemudian dengan alasan masing-masing memasuki pulau dan Kota Ambon sehingga menjadi penduduk Kota Ambon, yang selanjutnya disebut pula sebagai orang Ambon.

Para imigran yang memasuki pulau Ambon sejak abad XV sampai saat ini, mengindikasikan betapa hetrogennya masyarakat Ambon,  yang ternyata memiliki adat-istiadat tertentu yang terkadang tidak dapat diikuti oleh kelompok pendatang lain, menyebabkan tumbuh suburnya beraneka ragam suku dan budaya (termasuk agama)   yang  terkadang   mudah   menimbulkan  pertentangan  bahkan  permusuhan. 

DAFTAR PUSTAKA

[1]Frank L. Cooley , Altar and Thron in Central Moloccan Society, Alih Bahasa Tim Satya Karya, Mimbar dan Tahta, Hubungan Lembaga-Lembaga Keagamaan dan Pemerintahan di Maluku Tengah, selanjutnya disebut Mimbar dan Tahta. Cet. I, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987, h. 4.

[2]Lihat Bernard Vlekke, Nusantara A History of Indonesia, dalam H.M. Saleh Putuhena, “Penyebaran Agama Islam di Maluku”, Laporan Hasil Penelitian, selanjutnya disebut laporan, Ujungpandang, BPPM IAIN Alauddin, 1985, h. 11.

[3]Sumber-sumber tradisi lisan menuturkan, kata Alifuru berasal dari kata Arab ﺍﻞ yang berarti keluarga dan ﻓﺮﻮﻉ yang berarti cabang. Secara implikatif kata ini bermakna kelompok masyarakat yang memisahkan diri dan menyendiri. Alifuru awalnya terbagi dua kelompok, yaitu Alune yang berdiam di Desa Riring dan Wemale yang berdiam di Desa Hunitetu. Kedua desa ini terletak di pulau Seram bagian Barat.

[4]Ziwar Effendi, Hukum Adat Ambon-Lease, selanjutnya disebut Hukum Adat. Cet I, Jakarta: Pradnya Paramita, 1987, h. 11.

[5]Nunusaku terdiri atas dua suku kata, yaitu nunu yang berarti beringin dan saku yang berarti pusaka. Kata yang berasal dari bahasa tanah masyarakat setempat secara implikatif berarti sebatang pohon beringin yang dianggap sakral dan sakti sehingga dihormati dan dipusakakan secara turun temurun.

[6]Lihat Valentijn dalam Manusama, Disertasiop. cit., h. 23.

[7]Manusama, ibid.

[8]Dalam hikayat Tanahitu dirinya disebut dengan nama Rijali, Sifarijali dan Safa al-Rijali. Ia terkenal sebagai seorang penulis Islam Ambon (Maluku), dalam abad ke 17. Dilahirkan di Latin, sebuah hena atau aman yang terletak dibelakang negeri (desa) Hitulama sekarang ini.Tanggal lahirnya tidak diketahui pasti.menurut W.A. Saleky beliau hidup antara tahun 1585 – 1599, sedangkan menurut H.J. de Graaf menyatakan antara tahun 1590 – 1653. Menurut silsilah , Beliau adalah kemenakan Tepil, kapitan Hitu yang terkenal dari keturunan Perdana Jamilu. Beliau pernah menempuh pendidikan sebagai imam di Jepara.

Banyak pahlawan dan orang-orang terkenal di Ambon, Makassar dan Batavia yang dikenalnya secara baik begitu pula pejabat-pejabat VOC yang berkantor di Ambon an Batavia. Ketika benteng Kapahaha di Tanahitu jatuh ketangan Belanda beliau dan beberapa pejuang Hitu berhasil lolos daro benteng tersebut. Bahkan Rijali berhasil menyeberang ke Makassar dan tinggal dengan Karaeng Patingaloan sampai belia menulis buku Hikayat Tanahitu atas saran dan pasilitas dari Karaeng Patingaloan.

Berbagai Julukan diberikan kepadanya, mulai dari pa hlawan, pengarang, sastrawan, maupun sejarawan. Lihat M.G. Ohorella Hukum Adat Menganai Tanah dan Air di Pulau Ambon dan Sumbangannya terhadap Pembangunan Hukum Agraria Nasional (UUPA), Disertasi, Ujungpandang: Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin, 1993, h. 61-63.

[9]Hikayat ini menguraikan peristiwa yang terjadi dalam kurun waktu kurang lebih dua abad, yaitu kira-kira tahun 1450-1646 M dan ditulis di Makassar (Kerajaan Gowa) antara tahun 1646-1657 M dan terbagi dalam tiga kurun waktu:

Pertama   : Tahun 1450-1512 M mulai dengan kedatangan para imigran ke Tanahitu kemudian menetap dan mengembangkan keturunan dan masyarakatnya sampai tibanya bangsa Portugis di tahun 1215 M. Periode ini tertulis di dalam 11 kisah termasuk (halaman pertama yang hilang/rusak) termuat dalam 181/2 halaman.

Kedua      :   Tahun 1512-1605 M. Periode Portugis, dimulai dengan kedatangan pertama orang-orang portugis berbagai peperangan antara orang Tanahitu dan orang-orang portugis hingga mereka meninggalkan Ambon pada tahun 1605 M. Peiode ini dilukiskan dalam sepuluh kisah yang termuat dalam 201/2 halaman.

Ketiga      :   Tahun 1605-1646 M. Periode belanda, yang dimulai dengan pengambilalihan pulau ambon oleh Van der Hagen pada tanggal 22 Februari 1605 M., hingga runtuhnya benteng Kapahaha yang merupakan benteng pertahanan terakhir orang-orang Tanahitu ke tangan Belanda pada tanggal 25 Juli 1646 yang sekaligus menandai berakhirnya kekuasaan pemerintahan “Empat Perdana (Upu Hata) di Tanahitu. Periode ini sangat pendek dan tidak lebih dari 6 kisah namun uriannya panjang karena termuat dalam 68 halaman.

Manusama, Disertasi, op. cit, h. 18. Photo copy transkrip Hikayat Tanahitu kini tersimpan pada orang kayaTanahitumessing, Raja Abdullah Pelu.

[10]Lihat Imam Rijali dalam Manusama, op.cit, h. 156.

[11]J. Keuning, Ambonezzen Portugezen Ennederlanndes, Ambon’s Geschdenis tot het einde Van de Zeventiende eeuw, ahli bahasa S. Gunawan, Sejarah Ambon sampai Pada Akhir Abad ke 17, selanjutnya disebut Sejarah Ambon, Jakarta: Bhratara, 1973, h. 9.

[12]Ziwar Effendi, Hukum Adatop. cit., h. 14.

[13]Hongi dalam bahasa daerah setempat dapat diartikan sebagai suasana kacau balau. Istilah ini kemudian digunakan oleh pasukan belanda dalam pelayaran untuk memusnahkan beribu-ribu pohon cengkeh, adayang ditebang, dibakar, ada pula yang dikuliti batangnya. Hal ini dilakukan sebagai balasan atas tindakan orang-orang Tanahitu yang hanya mau menjual hasil cengkehnya kepada pedagang-pedagang Makassar dan Jawa yang mampu memberikan harga yang tinggi. Sementara Belanda (VOC) membelinya dengan harga yang sangat rendah.

[14]Kora-kora adalah perahu tradisioanal orang-orang Tanahitu (pulau Ambon) yang biasa dipakai oleh Belanda untuk perjalanan Hongi. Setiap pelayaran Hongi terdiri atas 30 sampai 40 buah kora-kora yang mampu memuat sampai 3000 orang dengan tugas selain mengayuh kora-kora juga dipakai untuk menebang pohon-pohon cengkeh.

[15]Ziwar Effendi, Hukum Adatop. cit., h. 24.


Rabu, 11 Mei 2016

RMS DALAM CATATAN SEJARAH KE-3

Pendaratan APRIS di Ambon
Pada 28 September 1950 pendaratan berlangsung di Tulehu dan Hitu di pantai utara. Invasi APRIS berkekuatan 6½ batalyon infantry dengan menggunakan kapal-kapal amfibi LCM yang di dukung oleh tembakan-tembakan dari 4 kapal korvet dan dua pembom B-25. Pada pendaratan itu terjadi peristiwa tragis. Menurut pasukan cadangan yang menonton dari atas kapal Waikelo, melihat ketika pendaratan LCM dan keluarnya pasukan 3 Mei dari LCM sesudah kandas, merupakan suatu pemandangan yang tidak akan mereka lupakan. Kolonel Kawilarang menceritakan: “Sesudah pendaratan, saya bersama pasukan maju ke Tulehu. Begitu juga Slamet Rijadi. Lalu kami berkelompok di Tulehu dan terus maju menuju Ambon . Tetapi baru saja kira-kira satu kilometer dari Tulehu kami sudah mendapat perlawanan hebat. Dalam pertempuran ini 20 anggota “3 Mei” gugur. Waktu itu ajudan saya, Kapten Jusuf, berkata dengan suara risau, “Kijk, Soekirmo is geraakt” (Liha,t Soekirmo kena). … Soekirmo, ajudan Slamet Rijadi itu tersenyum-senyum saja, seperti tidak menderita apa-apa. Sambil memegang lengan yang tergantung dengan tangan lain, ia berjalan ke Tulehu. Sayapun kaget melihatnya bercampur bangga atas kekuatannya. Baru pada jam 3 sore pasukan maju lagi, tetapi delapan kilometer kemudian, di suatu tempat, dengan hutan lebat sebelah kanan kami, terjadi lagi pertempuran. Sedang hari sudah mulai menggelap. Lalu kami tidur di sebelah jalan, di pinggir hutan, dalam keadaan basah kuyup, karena hujan lebat mengguyur kami. Saya melihat Slamet Rijadi, ajudan lainnya, Soendjoto, Jusuf dan Muskita, semuanya kedinginan. … Sementara itu kami sudah tahu bahwa Letkol Soediarto gugur di Hitulama/Hitumesing . Ia gugur sebelum mendarat. Masih di atas LCM, waktu kandas dan pintu LCM dibuka, ia kena tembakan di perutnya. … Dalam keadaan luka parah sempat di bawa ke kapal rumah sakit, “Waibalong” dan di operasi oleh Mayor Dokter Soejoto. Peluru menembus enam usus dan waktu sedang di operasi, Letkol Soediarto menghembuskan nafasnya terakhir.”
Penyerbuan ke Ambon berlanjut. Gerakan pasukan Mayor Jusmin, dibantu pasukan Mayor Soerjo Soebandrio, terhenti dekat Telaga Kodok, karena ada perlawanan hebat dari RMS. Gerakan dari Tulehu diteruskan, tetapi juga sangat lamban, karena terus menerus di perlamban oleh sniperfire RMS, dan di daerah itu sulit sekali untuk melambung.
Sesudah beberapa hari baru pasukan APRIS tiba di Suli.
Pihak pertahanan RMS di Ambon ketika itu berkekuatan 700 pasukan bersenjata lengkap, menghadapi pasukan penyerbu melalui perlawanan cukup gigih. Korban di pihak pasukan pendarat tidak sedikit, dan senjata-senjata mereka ini berpindah tangan untuk memperkuat 1.200 pasukan RMS memperoleh senjata, hingga pertempuran sengit berlangsung antara 30 September hingga 1 Oktober 1950 untuk kemudian dikuasai oleh APRIS. Perlawanan gerilyawan RMS turut memperlambat gerakan pasukan APRIS memasuki Ambon . Letkol Slamet Rijadi sempat kecolongan, ketika di pagi hari, ia mengemudikan jeep dari Tulehu menuju Suli. Seorang anggota RMS mencoba menghentikan jeep-nya sambil menembak dari samping. Nasib baik bagi Slamet Rijadi, karena saat ditembak, dengan gerakan refleks ia memutar badannya. Tetapi lengannya kena dari jarak satu meter. Masih untung lagi, tulangnya tidak kena. Malahan ia sempat menghentikan jeep, melompat keluar untuk mengejar si penembak. Tetapi orang yang menghadang dan menembaknya dengan sigap sudah lari menghilang masuk hutan. Di awal November datang pasukan tambahan dari Jawa melalui Makassar , yakni pasukan Kapten Poniman dan pasukan Mayor Lukas Kustarjo. Untuk itu rencana penyerbuan kota Ambon disusun. Pasukan Poniman akan mendarat di selatan kota Ambon sementara pasukan Lukas Kustarjo di sebelah utara. Sesudah itu Batalyon 3 Mei akan menduduki daerah pegunungan tenggara kota Ambon . Sementara itu pasukan Mayor Jusmin dan Mayor Soerjo Soebandrio menyerang dari Telaga Kodok menuju ke jurusan Paso dan sebagian ke lapangan terbang. Detasemen Kapten Faah akan mendarat di pantai selatan Teluk Baguala, tidak jauh dari sebelah timur Paso dan dari Waitatiri maju pasukan-pasukan dari Kapten Claproth, Mayor Worang, Kapten Mahmud Pasha, Mayor Soeradji. Letkol Slamet Rijadi dan Kapten Muskita ikut dengan pasukan yang berangkat ke Waitatiri. Kolonel Kawilarang akan berangkat dengan kapal dari Tulehu, bersama dengan pasukan akan mendarat dekat kota Ambon. Mayor Achmad Wiranatakoesoemah akan memimpin pasukan ini, sementara Letkol Daan akan diperbantukan kepada Kawilarang. Kekuatan APRIS terdiri dari tiga korvet, yakni, “Patiunus” dengan Mayor Laut Rais, “Banteng” yang membawa Kolonel Kawilarang dan “Rajawali” yang bertugas melindungi pendaratan jika perlu. Perwira liaison ALRI adalah Mayor Alex Langkay. Selain itu masih ada dua bomber B-25 dari AURI dengan pilot Mayor Noordraven dan Letnan Ismail. Pada 2 November, sehari sebelum berangkat dari Tulehu, Kawilarang bertemu dengan Menteri Leimena yang datang dari Jakarta bersama Ir Putuhena dan Dokter Rehatta. Mereka di utus oleh Pemerintah Jakarta untuk mencoba melakukan misi perdamaian yang ketiga dengan RMS. Mereka juga berharap agar supaya tugas APRIS cepat selesai dan sedapat mungkin dengan sedikit korban. Secara khusus harus dijaga, jangan sampai rakyat Maluku yang sudah banyak menderita dan tidak bersalah, menjadi korban dalam pertempuran di Ambon . Tetapi sayang harapan ini tak dapat terlaksana dan sudah terlambat. Karena perang sudah terjadi sejak 28 September dan pihak RMS tidak akan mau berunding. Lagi pula mereka berada dalam posisi kocar-kacir. Pertempuran dalam kota selalu makan banyak korban jiwa dan juga harta. Sebagian besar rumah akan hancur atau terbakar. Pada 3 November di pagi hari, pasukan Kapten Poniman mendarat di kota Ambon bagian selatan. Disini Kapten Sumitro gugur. Nasib serupa dialami Letnan Komar, yang kena tembakan dan langsung tersungkur. Musuh waktu itu sempat maju lagi sambil menusuk mati beberapa prajurit APRIS yang ketinggalan dan luka-luka. Rupanya musuh mengira Komar sudah mati. Padahal ia berpura-pura tidak bernafas lagi. Seorang RMS mendekatinya sambil berkata kepada temannya, “Ini orang Ambon . Beta ambil arlojinya saja.” Letnan Komar baru tertolong sewaktu pasukan APRIS maju lagi dan berhasil menghalau musuh. Pasukan Mayor Lukas Koestaryo mendarat tepat di benteng Victoria , di sebelah utara pelabuhan. Sebelum pukul 11.00 pasukan Mayor Lukas, Kapten Poniman dan Batalyon 3 Mei sudah menduduki sebagian besar kota Ambon dekat pantai. Mayor Achmad Wirahadikoesoemah dengan stafnya berada di pelabuhan. Sementara itu pasukan dari Waitatiri sudah sampai di Paso dan bertemu dengan Detasemen Faah dan kemudian juga dengan pasukan yang datang dari Telag Kodok. Letkol Slamet Rijadi dengan pasukan Mayor Worang dan Kapten Claproth hari itu sudah berada dekat Halong. Esok harinya, 4 November 1950, mereka meneruskan gerakan ke kota Ambon dan sampai di utara kota pukul 15.00. Sementara itu, di sekitar Fort Victoria , pada pukul 12.00 siang hari itu, keadaan berubah. Pasukan RMS dengan panser menyerang Fort itu hingga dekat pelabuhan. Waktu itu pasukan APRIS terpisah di sebelah utara kota Ambon , di Batumerah. Untung tak lama kemudian datang pasukan Slamet Rijadi dan mematahkan serangan RMS.
Slamet Rijadi Gugur
Tiba-tiba saja Panglima Kawilarang menerima kabar yang mengangetkan. APRIS menderita korban yang sangat berarti, Letnan Kolonel Slamet Rijadi kena tembak. Alex Kawilarang mengisahkan: “Saya tidak melihat sendiri bagaimana Slamet Rijadi waktu kena tembak itu. Tetapi saya dengar, bahwa ia sempat dibawa ke kapal (rumah sakit) ‘Waibalong’ di Tulehu. Kemudian saya mendapat keterangan, bahwa ia belum bisa di operasi, karena masih kena shock. … Laporan kemudian menceritakan adegan sebelumnya, yakni pada 4 November 1950 itu, Letkol Slamet Rijadi bergerak dari Galala ke Batumerah, di tepi kota Ambon . Tindakan ini diambil oleh Slamet Rijadi karena suasana dan keadaan dalam kota masih menunjukkan adanya oertempuran antara pihak RMS dengan pasukan Mayor Achmad Wiranatakoesoemah. Slamet Rijadi berhasil memasuki kota dan segera terlibat dalam pertempuran yang sengit… Letkol Slamet Rijadi berada di depan duduk di atas tank. Kemudian, nasib menentukan, serentetan tembakan bern dari seorang RMS mengenai perutnya dengan parah. Peluru kena di metal dari belt-nya (ikat pinggang) dank arena itu jadi dum-dum. Lukanya besar. Akibat luka-luka yang amat parah itu akhirnya Letkol Slamet Rijadi gugur. … Dokter Abdullah, yang turut serta dalam serangan ke Maluku Selatan ini, meninggalkan sebuah laporan berbentuk sajak mengenai gugurnya Slamet Rijadi ini: Tanggal 4 November/ Jam 21 seperempat/ Overste Slamet/ telah mangkat/ Terkabullah kehendaknya/ Oleh Tuhan Yang Maha Esa/ Ia ingin mati muda. … Semoga Tuhan/ Menerima arwahnya/ Sebagai umat/ Yang teguh beriman/ Amin.
Jenasah Letkol Slamet Rijadi di makamkan di pekuburan Pasir Putih di Tulehi. Sepuluh tahun kemudian jenasahnya dipindahkan ke makam pahlawan Kapaha, yang letaknya sekitar 3 km sebelah timur kota Ambon
Joop Warouw menggantikan posisi Slamet Rijadi membebaskan Ambon
Pada 7 November 1950, tiga hari setelah Letkol Slamet Rijadi gugur, Kolonel Kawilarang mengirim kabar ke Manado dan Makassar, dan meminta supaya Letkol Joop Warouw segera datang ke Ambon untuk mengisi posisi Slamet Rijadi sebagai Komandan Pasukan Maluku. Pada 8 November, Kawilarang sebagai Panglima keliling kota Ambon sebelah utara dan timur laut untuk menemui Kapten John Somba dan Letnan Wim Tenges. Kedua mereka ini dari Batalyon Mayor Hein “Kimby” Worang. Kepada mereka Kawilarang menugaskan untuk menyerang di sore hari dan mengembalikan hubungan dengan pasukan APRIS di pelabuhan, dan harus berhasil! Dari Kapten Jusuf, Kawilarang mendapat keterangan mengenai ucapan Somba yang mengatakan: “Tidak perlu panglima bicara dengan kami dan memberi semangat. Perintah saja sudah cukup. Kami laksanakan.” Pada hari itu juga, di sore hari, Batalyon 3 Mei yang juga di dukung Batalyon Worang berhasil menguasai seluruh kota dan pinggirannya, sesudah kompani Kapten Somba merebut Fort Victoria dan sambil berlarian maju terus, mengembalikan hubungan dengan pasukan APRIS di pelabuhan. Kompani Letnan Tenges, lebih ke sebelah timur kota , dapat berhubungan dengan pasukan 3 Mei dan dengan pasukan yang baru tiba via pelabuhan di bawah pimpinan Mayor Soetarno.
Pada 9 November, Panglima Kawilarang memeriksa kota yang sebagian besar kota hancur. Ternyata pada hari itu juga Letkol Warouw sudah berada di Ambon . Sejak itu pun ia memegang komandan pasukan Maluku dan Mayor Herman Pieters sebagai Kepala Staf. Warouw datang dengan kapal terbang ke Buru, dan dari sana ia naik kapal laut ke Ambon .Pasukan musuhpun terdesak dan menjauhi kota Ambon dan memindahkan kekuatan di Seram. Pada 16 November 1950 bandar udara Laha berhasil di kuasai oleh pasukan APRIS. Musuh kebanyakan lari ke Soya diatas, untuk terus ke Seram. Pihak RMS berusaha bergerilya di Haruku dan Saparua, tetapi dapat di duduki oleh APRIS tanpa ada korban. Pada 25 November 1950, Kolonel Kawilarang tiba di Ambon setelah lebih dari dua minggu berada di Makassar . Ketika berada di Ambon, suasana  sudah lain, lebih ramai orang di jalan-jalan dan kota sudah bersih, walau sebagian besar rumah-rumah rusak. Kawilarang bertemu dengan Dokter J B Sitanala, ayah dari Mayor Sitanala, komandan APRIS di Bali. Kalau berbicara ia selalu berterus terang dan kepada Kawilarang ia mengatakan: “Tahun 1942 Jepang datang di Ambon selama dua hari mengambil barang milik rakyat. Tahun 1945 pasukan Australia datang dan selama tujuh hari mengambil barang rakyat. Tahun 1950 TNI datanf dan setelah selama 14 hari mengambil barang rakyat, baru ada tindakan.” Kawilarang tak dapat berkomentar karena masih banyak advonturier dalam tubuh TNI. Mengenai para pelaku RMS, banyak yang kocar-kacir. Beberapa menteri seperti Gasperz dan Tom Pattiradjawane menyerahkan diri. Presiden Manuhutu dan beberapa menteri lainnya bersama beberapa perwira APRMS lainnya melarikan diri ke pulau Seram melalui Rutung dan Hutumuri untuk melanjutkan perlawanan. Juga terdapat Wairizal, Soumokil, Manusama, Ohorella, Pesuwarissa, Henk Pieter dll. Di Seram dibentuk pemerintah perjuangan dengan susunan: Presiden Manuhutu, PM Wairizal merangkap Menteri Dalam Negeri, Mr. Dr. Soumokil (Menteri Luar Negeri merangkap Menteri Kehakiman), Manusama (menteri pertahanan), Ohorella (Menteri Sandang-pangan) , G H Apituley (Menteri Keuangan), M A Tetelepta (Menteri Pendidikan, Z Pesuwarissa (Menteri penerangan dan sosial), dokter M Haulussy (Menteri kesehatan) dan Henk Pieter (Menteri Lalu-lintas dan pengairan).
Pucuk pimpinan APRMS yang tersisa membentuk kekuatan organisasi militer gerilya. Organisasi bersenjata ini di pimpin oleh Kolonel Tahapary sebagai Panglima, Kolonel W F Sopacua sebagai Kepala Staf, sementara Kolonel Nussy dan Kolonel Sopamena menjabat sebagai staf. Selain Staf juga mengangkat Penasehat, yakni Letkol I J Tamaela. Tetapi perang gerilya RMS justru menjadi kemahiran Panglima Kawilarang dan perwira-perwira TNI lainnya waktu melawan pasukan Belanda di Jawa dan Sumatra . Para gerilyawan RMS di Seram tidak diberi peluang untuk istirahat dan digempur terus. Akibatnya banyak dari RMS menjadi korban, terutama di kalangan pasukan dan pucuk pimpinan APRMS. Juga  banyak menteri terbunuh. Sementara Manusama dan Wairizal melarikan diri ke Papua.
Kekuatan RMS berhasil dipadamkan
Jatuhnya Fort Victoria pada 8 November 1950 secara definitif telah menghancurkan kelanjutan RMS. Padahal banyak di antara elit-elit politik yang membentuk ataupun mendukung RMS tidak sadar mereka ini adalah korban verdeel-en-heerst- politiek (politik adu domba) yang di terapkan oleh kolonial Belanda untuk saling membunuh di antara anak-anak bangsa penghuni gugusan nusantara ini. Bagi RMS untuk membentuk suatu negara juga waktunya sangat singkat, dan tanpa melalui suatu proses yang memerlukan waktu pendalaman yang cukup lama untuk membentuk suatu bangsa. Lagi pula pengadaan RMS hanya melalui emosi sentimen, dan hanya menjadi korban impulsif dari kalangan yang tidak meraih kepentingannya.
Sementara itu komandan pasukan Maluku di pertengahan 1951 dari Letkol Joop F Warouw diganti oleh Kolonel Soeprapto Sokowati, sementara Warouw kembali ke Manado melanjutkan posisinya sebagai Komandan KOPASUMU. Kawilarang memeriksa Batalyon Matalatta dan Batalyon Rivai di Seram. Ia perhatikan cara mereka bergerak sebagai pasukan anti-gerilya. Kawilarangpun bertanya siapa yang memberi latihan? Merekapun menjawab: “Kapten Muskita.” Sebab, Vuursdiscipline- nya (disiplin menembak) juga hebat, Mereka terus mobil, dan tidak memberikan kesempatan pada musuh untuk beristirahat. Kawilarangpun teringat pada ilmu itu yang pernah dipelajarinya, “Beter meer zweet dan bloed.” (Lebih baik banyak keringat dari pada darah). Begitulah cara perang anti-gerilya. Yang tidak mengetahui ilmu itu, kadang-kadang mereka mau mengambil jalan pintas, supaya cepat. Padahal di lapangan yang terbuka, seringkali itu berbahaya. Sebab itu lebih baik mengambil jalan berkeliling tetapi aman, dan bisa menyerang mendadak daripada mengambil jalan pintas tetapi terbuka dan gampang ditembak dan disergap musuh.
Pulau Seram luas sekali dan hutannya lebat. Anti-gerilya setengah mati mencari gerilya di sana , dan ini tentu makan waktu lama. Pada permulan November 1951 Kawilarang di pindahkan ke Jawa Barat untuk menjabat sebagai Panglima TT-III Siliwangi. Sebenarnya tugas belum selesai dan masih berada di Seram, dan gemobng RMS, Mr Soumokil masih bertahan dan menyembunyikan diri dari kejaran TNI.
Baru pada 12 Desember 1963, Soumokil tertangkap di dekat Wahai, Seram Utara bagian tengah oleh prajurit-prajurit  dari Batalyon Endjo, Siliwangi.Riwayat petualangan gembong RMS, Mr Dr. Soumokil yang menjadi penyebab pemberontakan Andi Azis di Makassar dan pemerontakan RMS berakhir dengan di jatuhi hukuman mati oleh Mahkmah Militer Luar Biasa di Jakarta pada 22 April 1964.

RMS DALAM CATATAN SEJARAH KE-3

Pendaratan APRIS di Ambon
Pada 28 September 1950 pendaratan berlangsung di Tulehu dan Hitu di pantai utara. Invasi APRIS berkekuatan 6½ batalyon infantry dengan menggunakan kapal-kapal amfibi LCM yang di dukung oleh tembakan-tembakan dari 4 kapal korvet dan dua pembom B-25. Pada pendaratan itu terjadi peristiwa tragis. Menurut pasukan cadangan yang menonton dari atas kapal Waikelo, melihat ketika pendaratan LCM dan keluarnya pasukan 3 Mei dari LCM sesudah kandas, merupakan suatu pemandangan yang tidak akan mereka lupakan. Kolonel Kawilarang menceritakan: “Sesudah pendaratan, saya bersama pasukan maju ke Tulehu. Begitu juga Slamet Rijadi. Lalu kami berkelompok di Tulehu dan terus maju menuju Ambon . Tetapi baru saja kira-kira satu kilometer dari Tulehu kami sudah mendapat perlawanan hebat. Dalam pertempuran ini 20 anggota “3 Mei” gugur. Waktu itu ajudan saya, Kapten Jusuf, berkata dengan suara risau, “Kijk, Soekirmo is geraakt” (Liha,t Soekirmo kena). … Soekirmo, ajudan Slamet Rijadi itu tersenyum-senyum saja, seperti tidak menderita apa-apa. Sambil memegang lengan yang tergantung dengan tangan lain, ia berjalan ke Tulehu. Sayapun kaget melihatnya bercampur bangga atas kekuatannya. Baru pada jam 3 sore pasukan maju lagi, tetapi delapan kilometer kemudian, di suatu tempat, dengan hutan lebat sebelah kanan kami, terjadi lagi pertempuran. Sedang hari sudah mulai menggelap. Lalu kami tidur di sebelah jalan, di pinggir hutan, dalam keadaan basah kuyup, karena hujan lebat mengguyur kami. Saya melihat Slamet Rijadi, ajudan lainnya, Soendjoto, Jusuf dan Muskita, semuanya kedinginan. … Sementara itu kami sudah tahu bahwa Letkol Soediarto gugur di Hitulama/Hitumesing . Ia gugur sebelum mendarat. Masih di atas LCM, waktu kandas dan pintu LCM dibuka, ia kena tembakan di perutnya. … Dalam keadaan luka parah sempat di bawa ke kapal rumah sakit, “Waibalong” dan di operasi oleh Mayor Dokter Soejoto. Peluru menembus enam usus dan waktu sedang di operasi, Letkol Soediarto menghembuskan nafasnya terakhir.”
Penyerbuan ke Ambon berlanjut. Gerakan pasukan Mayor Jusmin, dibantu pasukan Mayor Soerjo Soebandrio, terhenti dekat Telaga Kodok, karena ada perlawanan hebat dari RMS. Gerakan dari Tulehu diteruskan, tetapi juga sangat lamban, karena terus menerus di perlamban oleh sniperfire RMS, dan di daerah itu sulit sekali untuk melambung.
Sesudah beberapa hari baru pasukan APRIS tiba di Suli.
Pihak pertahanan RMS di Ambon ketika itu berkekuatan 700 pasukan bersenjata lengkap, menghadapi pasukan penyerbu melalui perlawanan cukup gigih. Korban di pihak pasukan pendarat tidak sedikit, dan senjata-senjata mereka ini berpindah tangan untuk memperkuat 1.200 pasukan RMS memperoleh senjata, hingga pertempuran sengit berlangsung antara 30 September hingga 1 Oktober 1950 untuk kemudian dikuasai oleh APRIS. Perlawanan gerilyawan RMS turut memperlambat gerakan pasukan APRIS memasuki Ambon . Letkol Slamet Rijadi sempat kecolongan, ketika di pagi hari, ia mengemudikan jeep dari Tulehu menuju Suli. Seorang anggota RMS mencoba menghentikan jeep-nya sambil menembak dari samping. Nasib baik bagi Slamet Rijadi, karena saat ditembak, dengan gerakan refleks ia memutar badannya. Tetapi lengannya kena dari jarak satu meter. Masih untung lagi, tulangnya tidak kena. Malahan ia sempat menghentikan jeep, melompat keluar untuk mengejar si penembak. Tetapi orang yang menghadang dan menembaknya dengan sigap sudah lari menghilang masuk hutan. Di awal November datang pasukan tambahan dari Jawa melalui Makassar , yakni pasukan Kapten Poniman dan pasukan Mayor Lukas Kustarjo. Untuk itu rencana penyerbuan kota Ambon disusun. Pasukan Poniman akan mendarat di selatan kota Ambon sementara pasukan Lukas Kustarjo di sebelah utara. Sesudah itu Batalyon 3 Mei akan menduduki daerah pegunungan tenggara kota Ambon . Sementara itu pasukan Mayor Jusmin dan Mayor Soerjo Soebandrio menyerang dari Telaga Kodok menuju ke jurusan Paso dan sebagian ke lapangan terbang. Detasemen Kapten Faah akan mendarat di pantai selatan Teluk Baguala, tidak jauh dari sebelah timur Paso dan dari Waitatiri maju pasukan-pasukan dari Kapten Claproth, Mayor Worang, Kapten Mahmud Pasha, Mayor Soeradji. Letkol Slamet Rijadi dan Kapten Muskita ikut dengan pasukan yang berangkat ke Waitatiri. Kolonel Kawilarang akan berangkat dengan kapal dari Tulehu, bersama dengan pasukan akan mendarat dekat kota Ambon. Mayor Achmad Wiranatakoesoemah akan memimpin pasukan ini, sementara Letkol Daan akan diperbantukan kepada Kawilarang. Kekuatan APRIS terdiri dari tiga korvet, yakni, “Patiunus” dengan Mayor Laut Rais, “Banteng” yang membawa Kolonel Kawilarang dan “Rajawali” yang bertugas melindungi pendaratan jika perlu. Perwira liaison ALRI adalah Mayor Alex Langkay. Selain itu masih ada dua bomber B-25 dari AURI dengan pilot Mayor Noordraven dan Letnan Ismail. Pada 2 November, sehari sebelum berangkat dari Tulehu, Kawilarang bertemu dengan Menteri Leimena yang datang dari Jakarta bersama Ir Putuhena dan Dokter Rehatta. Mereka di utus oleh Pemerintah Jakarta untuk mencoba melakukan misi perdamaian yang ketiga dengan RMS. Mereka juga berharap agar supaya tugas APRIS cepat selesai dan sedapat mungkin dengan sedikit korban. Secara khusus harus dijaga, jangan sampai rakyat Maluku yang sudah banyak menderita dan tidak bersalah, menjadi korban dalam pertempuran di Ambon . Tetapi sayang harapan ini tak dapat terlaksana dan sudah terlambat. Karena perang sudah terjadi sejak 28 September dan pihak RMS tidak akan mau berunding. Lagi pula mereka berada dalam posisi kocar-kacir. Pertempuran dalam kota selalu makan banyak korban jiwa dan juga harta. Sebagian besar rumah akan hancur atau terbakar. Pada 3 November di pagi hari, pasukan Kapten Poniman mendarat di kota Ambon bagian selatan. Disini Kapten Sumitro gugur. Nasib serupa dialami Letnan Komar, yang kena tembakan dan langsung tersungkur. Musuh waktu itu sempat maju lagi sambil menusuk mati beberapa prajurit APRIS yang ketinggalan dan luka-luka. Rupanya musuh mengira Komar sudah mati. Padahal ia berpura-pura tidak bernafas lagi. Seorang RMS mendekatinya sambil berkata kepada temannya, “Ini orang Ambon . Beta ambil arlojinya saja.” Letnan Komar baru tertolong sewaktu pasukan APRIS maju lagi dan berhasil menghalau musuh. Pasukan Mayor Lukas Koestaryo mendarat tepat di benteng Victoria , di sebelah utara pelabuhan. Sebelum pukul 11.00 pasukan Mayor Lukas, Kapten Poniman dan Batalyon 3 Mei sudah menduduki sebagian besar kota Ambon dekat pantai. Mayor Achmad Wirahadikoesoemah dengan stafnya berada di pelabuhan. Sementara itu pasukan dari Waitatiri sudah sampai di Paso dan bertemu dengan Detasemen Faah dan kemudian juga dengan pasukan yang datang dari Telag Kodok. Letkol Slamet Rijadi dengan pasukan Mayor Worang dan Kapten Claproth hari itu sudah berada dekat Halong. Esok harinya, 4 November 1950, mereka meneruskan gerakan ke kota Ambon dan sampai di utara kota pukul 15.00. Sementara itu, di sekitar Fort Victoria , pada pukul 12.00 siang hari itu, keadaan berubah. Pasukan RMS dengan panser menyerang Fort itu hingga dekat pelabuhan. Waktu itu pasukan APRIS terpisah di sebelah utara kota Ambon , di Batumerah. Untung tak lama kemudian datang pasukan Slamet Rijadi dan mematahkan serangan RMS.
Slamet Rijadi Gugur
Tiba-tiba saja Panglima Kawilarang menerima kabar yang mengangetkan. APRIS menderita korban yang sangat berarti, Letnan Kolonel Slamet Rijadi kena tembak. Alex Kawilarang mengisahkan: “Saya tidak melihat sendiri bagaimana Slamet Rijadi waktu kena tembak itu. Tetapi saya dengar, bahwa ia sempat dibawa ke kapal (rumah sakit) ‘Waibalong’ di Tulehu. Kemudian saya mendapat keterangan, bahwa ia belum bisa di operasi, karena masih kena shock. … Laporan kemudian menceritakan adegan sebelumnya, yakni pada 4 November 1950 itu, Letkol Slamet Rijadi bergerak dari Galala ke Batumerah, di tepi kota Ambon . Tindakan ini diambil oleh Slamet Rijadi karena suasana dan keadaan dalam kota masih menunjukkan adanya oertempuran antara pihak RMS dengan pasukan Mayor Achmad Wiranatakoesoemah. Slamet Rijadi berhasil memasuki kota dan segera terlibat dalam pertempuran yang sengit… Letkol Slamet Rijadi berada di depan duduk di atas tank. Kemudian, nasib menentukan, serentetan tembakan bern dari seorang RMS mengenai perutnya dengan parah. Peluru kena di metal dari belt-nya (ikat pinggang) dank arena itu jadi dum-dum. Lukanya besar. Akibat luka-luka yang amat parah itu akhirnya Letkol Slamet Rijadi gugur. … Dokter Abdullah, yang turut serta dalam serangan ke Maluku Selatan ini, meninggalkan sebuah laporan berbentuk sajak mengenai gugurnya Slamet Rijadi ini: Tanggal 4 November/ Jam 21 seperempat/ Overste Slamet/ telah mangkat/ Terkabullah kehendaknya/ Oleh Tuhan Yang Maha Esa/ Ia ingin mati muda. … Semoga Tuhan/ Menerima arwahnya/ Sebagai umat/ Yang teguh beriman/ Amin.
Jenasah Letkol Slamet Rijadi di makamkan di pekuburan Pasir Putih di Tulehi. Sepuluh tahun kemudian jenasahnya dipindahkan ke makam pahlawan Kapaha, yang letaknya sekitar 3 km sebelah timur kota Ambon
Joop Warouw menggantikan posisi Slamet Rijadi membebaskan Ambon
Pada 7 November 1950, tiga hari setelah Letkol Slamet Rijadi gugur, Kolonel Kawilarang mengirim kabar ke Manado dan Makassar, dan meminta supaya Letkol Joop Warouw segera datang ke Ambon untuk mengisi posisi Slamet Rijadi sebagai Komandan Pasukan Maluku. Pada 8 November, Kawilarang sebagai Panglima keliling kota Ambon sebelah utara dan timur laut untuk menemui Kapten John Somba dan Letnan Wim Tenges. Kedua mereka ini dari Batalyon Mayor Hein “Kimby” Worang. Kepada mereka Kawilarang menugaskan untuk menyerang di sore hari dan mengembalikan hubungan dengan pasukan APRIS di pelabuhan, dan harus berhasil! Dari Kapten Jusuf, Kawilarang mendapat keterangan mengenai ucapan Somba yang mengatakan: “Tidak perlu panglima bicara dengan kami dan memberi semangat. Perintah saja sudah cukup. Kami laksanakan.” Pada hari itu juga, di sore hari, Batalyon 3 Mei yang juga di dukung Batalyon Worang berhasil menguasai seluruh kota dan pinggirannya, sesudah kompani Kapten Somba merebut Fort Victoria dan sambil berlarian maju terus, mengembalikan hubungan dengan pasukan APRIS di pelabuhan. Kompani Letnan Tenges, lebih ke sebelah timur kota , dapat berhubungan dengan pasukan 3 Mei dan dengan pasukan yang baru tiba via pelabuhan di bawah pimpinan Mayor Soetarno.
Pada 9 November, Panglima Kawilarang memeriksa kota yang sebagian besar kota hancur. Ternyata pada hari itu juga Letkol Warouw sudah berada di Ambon . Sejak itu pun ia memegang komandan pasukan Maluku dan Mayor Herman Pieters sebagai Kepala Staf. Warouw datang dengan kapal terbang ke Buru, dan dari sana ia naik kapal laut ke Ambon .Pasukan musuhpun terdesak dan menjauhi kota Ambon dan memindahkan kekuatan di Seram. Pada 16 November 1950 bandar udara Laha berhasil di kuasai oleh pasukan APRIS. Musuh kebanyakan lari ke Soya diatas, untuk terus ke Seram. Pihak RMS berusaha bergerilya di Haruku dan Saparua, tetapi dapat di duduki oleh APRIS tanpa ada korban. Pada 25 November 1950, Kolonel Kawilarang tiba di Ambon setelah lebih dari dua minggu berada di Makassar . Ketika berada di Ambon, suasana  sudah lain, lebih ramai orang di jalan-jalan dan kota sudah bersih, walau sebagian besar rumah-rumah rusak. Kawilarang bertemu dengan Dokter J B Sitanala, ayah dari Mayor Sitanala, komandan APRIS di Bali. Kalau berbicara ia selalu berterus terang dan kepada Kawilarang ia mengatakan: “Tahun 1942 Jepang datang di Ambon selama dua hari mengambil barang milik rakyat. Tahun 1945 pasukan Australia datang dan selama tujuh hari mengambil barang rakyat. Tahun 1950 TNI datanf dan setelah selama 14 hari mengambil barang rakyat, baru ada tindakan.” Kawilarang tak dapat berkomentar karena masih banyak advonturier dalam tubuh TNI. Mengenai para pelaku RMS, banyak yang kocar-kacir. Beberapa menteri seperti Gasperz dan Tom Pattiradjawane menyerahkan diri. Presiden Manuhutu dan beberapa menteri lainnya bersama beberapa perwira APRMS lainnya melarikan diri ke pulau Seram melalui Rutung dan Hutumuri untuk melanjutkan perlawanan. Juga terdapat Wairizal, Soumokil, Manusama, Ohorella, Pesuwarissa, Henk Pieter dll. Di Seram dibentuk pemerintah perjuangan dengan susunan: Presiden Manuhutu, PM Wairizal merangkap Menteri Dalam Negeri, Mr. Dr. Soumokil (Menteri Luar Negeri merangkap Menteri Kehakiman), Manusama (menteri pertahanan), Ohorella (Menteri Sandang-pangan) , G H Apituley (Menteri Keuangan), M A Tetelepta (Menteri Pendidikan, Z Pesuwarissa (Menteri penerangan dan sosial), dokter M Haulussy (Menteri kesehatan) dan Henk Pieter (Menteri Lalu-lintas dan pengairan).
Pucuk pimpinan APRMS yang tersisa membentuk kekuatan organisasi militer gerilya. Organisasi bersenjata ini di pimpin oleh Kolonel Tahapary sebagai Panglima, Kolonel W F Sopacua sebagai Kepala Staf, sementara Kolonel Nussy dan Kolonel Sopamena menjabat sebagai staf. Selain Staf juga mengangkat Penasehat, yakni Letkol I J Tamaela. Tetapi perang gerilya RMS justru menjadi kemahiran Panglima Kawilarang dan perwira-perwira TNI lainnya waktu melawan pasukan Belanda di Jawa dan Sumatra . Para gerilyawan RMS di Seram tidak diberi peluang untuk istirahat dan digempur terus. Akibatnya banyak dari RMS menjadi korban, terutama di kalangan pasukan dan pucuk pimpinan APRMS. Juga  banyak menteri terbunuh. Sementara Manusama dan Wairizal melarikan diri ke Papua.
Kekuatan RMS berhasil dipadamkan
Jatuhnya Fort Victoria pada 8 November 1950 secara definitif telah menghancurkan kelanjutan RMS. Padahal banyak di antara elit-elit politik yang membentuk ataupun mendukung RMS tidak sadar mereka ini adalah korban verdeel-en-heerst- politiek (politik adu domba) yang di terapkan oleh kolonial Belanda untuk saling membunuh di antara anak-anak bangsa penghuni gugusan nusantara ini. Bagi RMS untuk membentuk suatu negara juga waktunya sangat singkat, dan tanpa melalui suatu proses yang memerlukan waktu pendalaman yang cukup lama untuk membentuk suatu bangsa. Lagi pula pengadaan RMS hanya melalui emosi sentimen, dan hanya menjadi korban impulsif dari kalangan yang tidak meraih kepentingannya.
Sementara itu komandan pasukan Maluku di pertengahan 1951 dari Letkol Joop F Warouw diganti oleh Kolonel Soeprapto Sokowati, sementara Warouw kembali ke Manado melanjutkan posisinya sebagai Komandan KOPASUMU. Kawilarang memeriksa Batalyon Matalatta dan Batalyon Rivai di Seram. Ia perhatikan cara mereka bergerak sebagai pasukan anti-gerilya. Kawilarangpun bertanya siapa yang memberi latihan? Merekapun menjawab: “Kapten Muskita.” Sebab, Vuursdiscipline- nya (disiplin menembak) juga hebat, Mereka terus mobil, dan tidak memberikan kesempatan pada musuh untuk beristirahat. Kawilarangpun teringat pada ilmu itu yang pernah dipelajarinya, “Beter meer zweet dan bloed.” (Lebih baik banyak keringat dari pada darah). Begitulah cara perang anti-gerilya. Yang tidak mengetahui ilmu itu, kadang-kadang mereka mau mengambil jalan pintas, supaya cepat. Padahal di lapangan yang terbuka, seringkali itu berbahaya. Sebab itu lebih baik mengambil jalan berkeliling tetapi aman, dan bisa menyerang mendadak daripada mengambil jalan pintas tetapi terbuka dan gampang ditembak dan disergap musuh.
Pulau Seram luas sekali dan hutannya lebat. Anti-gerilya setengah mati mencari gerilya di sana , dan ini tentu makan waktu lama. Pada permulan November 1951 Kawilarang di pindahkan ke Jawa Barat untuk menjabat sebagai Panglima TT-III Siliwangi. Sebenarnya tugas belum selesai dan masih berada di Seram, dan gemobng RMS, Mr Soumokil masih bertahan dan menyembunyikan diri dari kejaran TNI.
Baru pada 12 Desember 1963, Soumokil tertangkap di dekat Wahai, Seram Utara bagian tengah oleh prajurit-prajurit  dari Batalyon Endjo, Siliwangi.Riwayat petualangan gembong RMS, Mr Dr. Soumokil yang menjadi penyebab pemberontakan Andi Azis di Makassar dan pemerontakan RMS berakhir dengan di jatuhi hukuman mati oleh Mahkmah Militer Luar Biasa di Jakarta pada 22 April 1964.

RMS DALAM CATATAN SEJARAH KE-2


Krisis Politik
Tetapi keadaan berubah sejak awal 1950 dengan munculnya krisis politik di Ambon . Bermula ketika Urbanus Pupella, pimpinan PIM mengeluarkan pernyataan tidak ingin masuk dalam federasi, tetapi mau bergabung dengan Republik Indonesia . Pada 19 Januari 1950 tiba anggota-anggota militer Paratroep asal Ambon pulang kampung dan mendarat di Ambon . Sebelumnya pasukan-pasukan ini ketika berada di Makassar sudah terkontaminasi oleh Mr. Christiaan Soumokil, Jaksa Agung RIS yang anti-RI melakukan provokasi kepada pasukan-pasukan khusus baret merah dan hijau asal Ambon ini. Kegiatan provokasi yang dilakukan oleh Soumokil karena dibiarkan oleh Kolonel Schotborgh, Komandan tentara Belanda di Makassar. Schotborgh juga menjadi penyebab terjadinya kerusuhan di Makassar karena membiarkan Soumokil menghasut Kapten Andi Azis melakukan aksi pemerontakan di Makassar. Ambon menjadi tegang dengan kembalinya pasukan-pasukan khusus asal Ambon yang sebagaian besar terkena disersi, giat melakukan konfrontasi dengan barisan PIM dari Pupella yang saling berlawanan. Konflik di Ambon pun tidak terhindar ketika pada 19 Februari 1950 terjadi perkelahian antara anggota-anggota PIM yang pro-Republik dengan anti-Republik yang di dukung oleh pasukan-pasukan khusus ini. Pemerintah Ambon ketika itu berubah menjadi negara Polisi yang juga berpihak pada kelompok anti-Republik. Dalam peristiwa berdarah ini menimbulkan 19 orang korban. Konflik kemudian menyebar dimana-mana tanpa bisa dicegah. Pada 12 Maret 1950, kepala desa Asilusu, Ibrahim Tangko, anggota PIM, di datangi 10 orang anggota polisi yang langsung mengeroyok dan menyiksanya. Begitu pula pada 17 Maret, di desa yang sama, Awat Betawi, juga anggota PIM didatangi anggota-anggota polisi yang menyiksanya hingga pingsan.
Yang tak kalah tragisnya adalah pada hari yang sama di desa Wakasihu, pimpinan PIM setempat, Ohorella, dan ibunya juga harus mengalami siksaan tidak manusiawi. (Teu Lususina, Ambon )
RMS di dirikan
Di Ambon mulai muncul desas-desus bahwa wilayah Indonesia Timur sudah di kuasai oleh pasukan Jawa (baca APRIS), dan menurut rencana pasukan TNI dari Jawa akan menyerbu Ambon pada akhir Maret. Desas-desus ini menimbulkan kepanikan, terutama di kalangan pemerintahan dan kalangan fungsionaris pedesaan. Kemudian pada 5 April muncul berita yang sangat menyenang pemimpin-pemimpin anti-Republik bahwa pasukan TNI dari Batalyon Worang akan memasuki kota Makassar . Tak lama kemudian tersiar berita bahwa seorang Kapten Bugis muda, bernama Andi Azis bersama batalyonnya telah menduduki kota Makassar dalam usaha untuk mempertahankan kota ini dari serbuan Batalyon Mayor H V Worang. Aksi pemberontakan Andi Azis di Makassar di ikuti dengan seksama dan penuh kecemasan oleh kalangan anti-Republik di Ambon . Situasi Ambon menjadi tak menentu ketika mengetahui Andi Azis sudah ditangkap dan Makassar sudah aman dari pemeberontakan setelah Kolonel Alex Kawilarang di angkat menjadi Panglima territorial Indonesia Timur.Pada 18 April 1950, J A Manusama, yang ketika itu menjabat direktur urusan sekolah-sekolah menengah di Ambon, memprakarsai rapat umum di Ambon untuk menenangkan keadaan. Pada 21 April terdengar kabar bahwa Andi Azis dengan resmi menjadi tahanan. Sebelumnya ia datang ke Jakarta yang katanya di janjikan akan dibebaskan bila melapor kepada pemerintah.
Penahanan Andi Azis membuat para pemimpin RMS melakukan pertemuan khusus membahas situasi dan keadaan di Indonesia Timur. Dari pertemuan itu muncul ide pemisahan diri dari Republik Indonesia Serikat (RIS). Pada 23 April 1950, Sersan Mayor (KNIL) Ibrahim Ohorella, Sersan Mayor Sapulete bersama Ir Manusama memprakarsai pertemuan dengan wakil-wakil militer, polisi dan sipil untuk melakukan persiapan dan menyusun konsep kemerdekaan Maluku Selatan terlepas dari Republik Indonesia Serikat dengan mencetuskan proklamasi Republik Maluku Selatan. Pada esok harinya, konsep ini diajukan untuk mendapat persetujuan dari Kongres Rakyat yang berlangsung di gedung pemerintah di Batugadjah dan dihadiri sekitar 6000 pengunjung, yang secara aklamasi disetujui.
Konsep proklamasi itu kemudian di bacakan pada 25 April 1950 dan di tandatangani oleh J H Manuhutu dan A Wairizal.
Teks proklamasi RMS berbunyi:
Proklamasi
Kemerdekaan Maluku Selatan
Memenuhi kemauan jang sungguh, tuntuan dan desakan rakjat Maluku Selatan, Maka dengan ini kami proklamir KEMERDEKAAN MALUKU SELATAN, defakto dejure, Yang berbentuk Republik, lepas dari dari pada segala perhubungan ketatanegaraan Negara Indonesia Timur dan RIS, beralasan NIT sudah tidak sanggup mempertahankan Kedudukannya sebagai Negara Bahagian selaras dengan peraturan2 Mutamar Denpasar
Jang masih sjah berlaku, djuga sesuai dengan keputusan Dewan Maluku Selatan Tertanggal 11 Maret 1947, sedang RIS sudah bertindak bertentangan dengan Keputusan2 KMB dan Undang2 Dasarnya sendiri.
Ambon, 25 April 1950 – Pemerintah Maluku-Selatan,
J H Manuhutu
A Wairizal
Pada 26 April terbentuk pemerintahan RMS dengan susunan: J H Manuhutu sebagai Presiden; A Wairizal (Pimpinan Dewan Rakyat dan pimpinan departemen); Mr Soumokil (Luar Negeri); D J Gasperz (Dalam Negeri); J Toule (Kehakiman); J B Pattiradjawane (Keuangan); SJH Norimarna (ekonomi); H F Pieter (lalu-lintas dan Pengairan), P W Lokollo (sandang-pangan) ; A Nanlohy (pertahanan) ; Ir J A Manusama (Pendidikan) dr Th Pattiradjawane (Kesehatan); dan Z Pesuwarissa (Penerangan) .
Pada 2 Mei 1950, di atas gedung pemerintah, berkibar bendera nasional RMS empat warna, biru-putih, hijau dan merah dari hasil kesepakatan pemuka-pemuka desa (raja-raja).
Angkatan Perang RMS dibentuk
Pada 9 Mei di Ambon oleh tentara-tentara eks KNIL dengan menggunakan cara tentara Belanda mendirikan Angkatan Perang Republik Maluku Selatan (APRMS). Kekuatan ini di topang oleh barisan sukarela yang umumnya terdiri dari anak-anak muda usia 16 tahun keatas yang militant dan fanatic mempertahankan RMS. Pada Juni 1950 pucuk pimpinan APRMS dibentuk yang terdiri dari Sersan Mayor Samson sebagai Panglima dan Sersan-Mayor Pattiwael sebagai Kepala Staf APRMS. Anggota-anggota Staf antara lain adalah Sersan-Mayor Kastanja dan Sersan Mayor Pieter dan Sersan Aipassa. Kesemua mereka ini adalah prajurit-prajurit KNIL tua yang kemudian mendapat pangkat dari Kolonel hingga Mayor.
Pulau Seram juga mendapat tempat sebagai basis pertahanan, hingga juga terbentuk satuan kekuatan militer dengan sebutan Tentara Panah  terdiri dari sekitar 10.000 orang.
Ketika RMS diproklamirkan, beberapa minggu kemudian, diantara serdadu-serdadu KNIL asal Maluku memasuki APRMS dan jumlahnya berkisar 4.000 personal dan melikuidasi dari garnisun di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Jawa.
Mereka menyatakan solider dengan RMS dan menolak di pindahkan ke APRIS, untuk itu menuntut di demobilisasi dan di pindahkan di daerah-daerah non-RIS, apakah di wilayah RMS ataupun di Papua.
Tuntutan mereka ini ditolak oleh Belanda yang tidak mau lagi direpotkan setelah peristiwa pemberontakan Andi Azis yang dilakukan oleh kalangan militer KNIL asal Ambon di Makassar. Untuk itu banyak diantara pasukan KNIL asal Ambon di Makassar di evakuasi ke Jawa, dan disana mereka di kosentrasikan pada 5 daerah garnisun, masing-masing: Jakarta , Bandung , Surabaya , Malang dan Semarang .
Merekapun mendapat pilihan, demobilisasi di Jawa atau ikut bersama APRIS membebaskan Maluku dari RMS.
Yang menolak, hingga pada kelima garnisun itu dibentuk panitia untuk melayani dan mengatasi mereka yang membangkang.
Untuk mengatasi keadaan, pihak militer Belanda melakukan pendekatan dengan Perwakilan Rakyat Maluku, hingga satu delegasi di pimpin Sersan-Mayor Aponno di kirim ke Negeri Belanda untuk berunding dengan pemerintah Belanda.
Ketika pada 26 Juli 1950, KNIL secara resmi dibubarkan oleh pemerintah Belanda, yang sehari sebelumnya, semua personal eks KNIL diberhentikan. Walau begitu ke-4000 pasukan pembangkang yang pro RMS berada di bawah tanggung jawab militer Belanda. Pemerintah Belanda melarang dilakukannya demobilisasi di wilayah Indonesia bagi para pembangkang. Untuk mengatasinya, tidak ada pilihan, yakni mengangkut mereka ke Negeri Belanda, dengan beaya satu juta gulden untuk setiap kapal. Untuk itu, oleh pemerintah Belanda yang tidak mendukung ataupun mengakui RMS menekan delegasi Aponno di tekan untuk menerima putusan ini, dan tidak dibenarkan dikembalikan ke Ambon .
Sebagai hasilnya pada bulan Maret/April 1951, prajurit-prajurit eks KNIL di berangkatan ke Negeri Belanda terdiri dari: 6 pendeta militer; 3 perwira ajudan; 35 sersan-mayor; 372 sersan dan fourier; 821 kopral dan 2341 serdadu. Secara keseluruhan bersama isteri-isteri dan anak-anak berjumlah 12.500 orang.
Pada 8 Juni 1950 diputuskan untuk membentuk Perwakilan RMS di Luar Negeri. Sebelumnya, pada 27 April 1950 pihak RMS menunjuk dr J P Nikijuluw sebagai pimpinan perwakilan RMS di luar negeri dengan P W Lokollo sebagai Wakilnya dibantu Komisaris pemerintah, I A Lebelauw. Ketiga mereka ini berada di Negeri Belanda.
Pada 16 Oktober 1950 pihak RMS mengirim kawat kepada dr Nikijuluw dan memberi kuasa sebagai delegasi RMS ke Dewan Keamanan PBB dan menunggu laporan dari pihak UNCI mengenai “Masalah RMS” yang katanya akan di kirim ke Dewan Keamanan. Sebulan sebelumnya pada 4 September 1950, dalam sidang Parlemen RMS di Ambon ditetapkan pada pasal I UUD RMS berbunyi: “Republik Maluku Selatan adalah Negara sah, yang bebas dan merdeka sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi.” (Bung Penonton: De Zuid Molluksi Republiek, 1977). Departemen Luar Negeri RMS di Ambon mengeluarkan pernyataan yang isinya mengatakan: RMS sedang berusaha berhubungan dengan Amerika Serikat, terutama dengan Australia untuk berembuk dalam usaha untuk melakukan Pertahanan dan keamanan bersama di Pasifik-Selatan menghadapi kemungkinan ancaman agresi komunis. Untuk hal itu, RMS berusaha menghubungi AS ataupun Australia dengan menawarkan beberapa tempat strategis bagi penempatan pangkalan-pangkalan militer dan penempatan kekuatan armada-armada laut mereka.” Pernyataan ini mendapat kecaman dari Urbanus Pupella yang mengatakan merupakan pengkhianatan terhadap rakyat Maluku. Pada 15 Juli 1950 pihak pimpinan RMS mengatakan, negara dalam darurat, Staat van Oorlog en Beleg (SOB) untuk seluruh wilayah Sulawesi Selatan. Tetapi pada 8 Agustus 1950, secara resmi pemerintah RMS membentuk Dewan Parlemen Sementara. Dewan ini terdiri dari 75 anggota, terdiri dari 60 kepala-kepala desa dan 15 orang-orang yang dikenal masyarakat. W A Lokollo di tunjuk menjadi ketua menggantikan S Tjokro dari PIM. Selanjutnya RMS menjadi negara Polisi di pimpin oleh Komisaris H J Malaiholo yang tak lama kemudian meninggal dan kedudukannya diganti oleh seseorang bernama Filippus yang memimpin intelijen militer. Selain itu juga dibentuk Dewan Konstitusi yang mulai aktif pada 4 September 1950. Beberapa tahun kemudian ketika mereka di adili Wairizal dan Manuhutu oleh Pengadilan militer Indonesia , kedua mereka ini mengakui bahwa mereka dipaksa untuk menandatangani teks proklamasi ini. Dari pertemuan-pertemuan yang dilakukan, ternyata tidak satupun secara bulat terjadi persetujuan dibentuknya RMS oleh kalangan masyarakat Maluku sendiri. (Ernst Utrecht).
Reka-yasa Soumokil yang gagal
Ternyata pengadaan RMS di reka-yasa oleh Mr Christiaan Soumokil yang sering bersikap eksentrik dan bahkan juga tidak senang pada Negara Indonesia Timur, dan lebih berpihak pada kembalinya kolonialisme Belanda. Lagi pula pembentukan RMS sama sekali bukan aspirasi dari masyarakat Maluku Selatan. Sementara dibawah prakarsa PIM, pada umumnya para pimpinan politik, kepala-kepala desa, pemuka-pemuka agama baik Kristen maupun Islam, sepakat untuk menempatkan Maluku Selatan sebagai bagian dari RIS yang di bentuk pada 27 Desember 1949 setelah penyerahan kedaulatan pada hari yang sama.
Untuk meraih ambisinya, Soumokil melakukan kegiatan kampanye, dan pertama-tama berkunjung ke Kupang di Timor dan kemudian ke Manado untuk mempengaruhi masyarakat di sana . Tetapi tujuannya sama sekali tidak berhasil hingga ia mendarat di Ambon pada 14 Desember. Kesemuanya dengan menggunakan fasilitas Belanda yang diberikan oleh Kolonel Schotborg untuk mempengaruhi agar Indonesia Timur tidak bergabung dengan Republik. Setelah berada di Ambon , Soumokil giat melakukan penyusunan rencana mempertahankan RMS dari penyerbuan pasukan APRIS. Sehari setelah cetusan proklamasi, pihak RMS melakukan perekrutan pada pemuda-pemuda sebagai sukarelawan mempertahankan RMS dari APRIS. Selain Ambon, juga berusaha menarik simpati di berbagai kepulauan. Tetapi kampanye RMS tidak mendapat sambutan dari penduduk di Buru , Aru, Banda, Kei dan Tanimbar. Sementara dukungan terbanyak diperoleh dari penduduk kota Ambon, Seram dan beberapa pulau lainnya sekitar Ambon , dan juga pulau-pulau seputar Maluku Tengah. Cetusan proklamasi RMS kurang mendapat sambutan, terutama di kalangan pelajar-pelajar dan kalangan ilmuan Ambon di luar Ambon, terutama di Jawa dan Sumatra karena memahami pandangan-pandangan nasionalisme. Pendukung RMS umumnya terdapat dikalangan militer KNIL asal Ambon. Umumnya militer pro RMS yang terkena demobilisasi menolak untuk masuk sipil di Jawa. Banyak diantara mereka ini, mau tidak mau, dipaksa oleh Belanda dan di angkut ke Negeri Belanda. Begitu hebatnya provokasi Soumokil hingga memerlukan waktu cukup lama untuk meredakan keadaan.
Misi Perdamaian Leimena yang gagal
Waktu itu Kementerian Pertahanan belum lama mengangkat Kolonel Alex Kawilarang sebagai Panglima TT-IT. Selain sibuk melakukan organisasi militer untuk ekspedisi, juga giat menghadapi pemberontakan oleh pasukan-pasukan KNIL disersi asal Maluku di Makassar. Sambil merampungkan organisasi APRIS yang untuk pertama kali melakukan ekspedisi di luar Jawa, dan mengatasi aksi militer eks KNIL di Sulawesi Selatan, pemerintah Jakarta mengutus misi perdamaian ke Maluku pimpinan dr Leimena ke Ambon dengan maksud melakukan pendekatan dengan gembong-gembong RMS. Menteri Republik Leimena di dampingi, ahli medis dari Surabaya, dr C A Rehatta, Ir Putuhena, dan Menteri Penerangan Federal, Peloepessy. Pada 1 Mei 1950, dengan kapal korvet Hang Tuah milik ALRI rombongan misi perdamaian ini berangkat ke Ambon . Kepergian mereka ditehui oleh pimpinan RMS, dan mengirim kawat ke Jakarta , bersedia berunding tidak di kapal, tetapi melalui komisi internasional. Balasan kawat ini tidak ditanggapi oleh Jakarta dan kapal Hang Tuah sudah terlihat berlabuh di Teluk Ambon. RMS mengeluarkan syarat bila mengirim delegasinya ke kapal. Pada 6 Mei 1950, Kantor-berita Antara melaporkan mengenai misi Leimena sebga(i berikut: “ Makassar , 5 Mei 1950. Seperti telah diberitakan mengenai “Misi-Ambon” pimpinan Dr Leimena, yang pada hari Kamis jam 11 malam telah tiba di Makassar . Pada Jum’at pagi Dr Leimena pada jumpa pers mengatakan bahwa kapal “Hang Tuah” yang membawa rombongan misi hanya berada kurang dari satu jam di Teluk Ambon, dan berlabuh dekat mercu suar. Syahbandar pelabuhan Ambon yang bertindak sebagai pengubung membawa surat dari pimpinan “Pemerintah Maluku Selatan’ yang diminta agar misi ini langsung menjawab. Tetapi tak sampai satu jam, sebelum pihak misi damai dapat menjawab surat itu, syahbandar itu langsung di panggil oleh orang-orang di darat untuk kembali ke darat. Pada surat itu pihak RMS mengatakan mengusulkan agar dalam perundingan itu, menempatkan RMS sebagai negara yang berdaulata, yang tidak mungkin dapat dilakukan oleh misi RIS. Leimena sangat kecewa dengan sikap ‘saudara-saudara Ambon ’ ini, dan mengatakan: “Padahal misi ini adalah antara sesame “Putra Bangsa” untuk sama-sama berembuk dan mengatasi permasalahan secara damai.” Waktu syahbandar kembali ke darat, terlihat jelas dari korvet, pejabat itu dipukuli sampai babak belur oleh prajurit KNIL dari pasukan “Baret Hijau.” Peristiwa perlakuan pejabat-pejabat RMS ini sangat menyayat hati Leimena dan kawan-kawan sesama asal Ambon . Karena yang dihadapinya adalah orang-orang dungu yang buta politik yang membawa derita terhadap masyarakat banyak di Maluku. Walau begitu, Dr. Leimena masih berusaha melakukan pendekatan dan meminta kapal “Hang Tuah” berlayar ke Saparua dengan maksud untuk menemui Manus Pattiradjawane, pimpinan setempat. Tetapi disana juga pihak penguasa RMS di Saparua melarang kapal merapat. Padahal Pattiradjawane adalah saudara ipar dari Gubernur Maluku, Johannes Latuharhary, namun ikatan keluarga tidak meluluhkan kekerasan sikap RMS hingga memutuskan tali persaudaraan.
Blunder dari Radio RRI Jakarta
Masih lagi di coba untuk melakukan pendekatan dengan pengadaan misi damai kedua. Tetapi ini pun gagal sebelum di mulai. Hal ini terjadi oleh siaran dari Radio RRI di Jakarta yang kurang di awasi. Waktu itu diumumkan tentang percobaan pengiriman misi perdamaian kedua. Tetapi sang penyiar mengakhiri siaran itu dengan menggunakan kata “ancaman” jika misi kedua ini tidak diterima, akan di daratkan 15.000 tentara TNI. Perkataan “ancaman” pada siaran itu secara psikologis merupakan kesalahan besar. Karena ketika itu TNI sama sekali belum punya persiapan untuk mendarat. Dan, benar saja, beberapa hari kemudian, Radio “RMS” mengumumkan, mereka tidak gentar sekalipun 150.000 tentara TNI akan mendarat. Karena waktu itu Panglima TT-IT sedang sibuk menempatkan pasukan-pasukan TNI di tempat-tempat yang perlu di seluruh pulau Sulawesi, Morotai dan Ternate (Maluku Utara), pulau-pulau Nusatenggara dari Bali sampai Timur. Juga di Tamimbar, Aru dan Kei di Maluku Selatan. Di tempat-tempat ini keadaan aman, kecuali di kota Makassar .
Sesudah peristiwa pertempuran bulan Mei 1950, terasa sekali keadaan masih eksplosif.
Selama pasukan KNIL asal Ambon masih bersenjata dan memperlihatkan sikap provokatif, Komandan Sektor Makassar, Letkol Soeharto harus siaga 24 jam sehari dengan sebagian dari pasukannya terhadap suatu serangan mendadak. Untuk menyelesaikan masalah RMS, perlu di datangkan pasukan baru dari Jawa, dan di kirim batalyon Mayor Soeradji dan batalyon Mayor Pelupessy. (Alex Kawilarang: Untuk Sang Merah Putih, 1988).
Blokade Laut APRIS dan kegagalan misi Schotborgh mengendalikan Tentara KNIL
Manusama pada bukunya, Om Recht en Vrijheid mengungkapkan bahwa kegagalan misi perdamaian Leimena berlanjut dengan rencana pemerintah Jakarta melakukan aksi blokade laut terhadap RMS. Tetapi karena di Ambon terdapat orang-orang Belanda, hingga pemerintah RIS menghubungi Komisariat Tinggi Belanda di Jakarta untuk mengorganisir proses evakuasi.
Pada 8 Mei 1950 di Ambon datang dua misi Belanda; misi sipil oleh Van Hoogstraten dan Deinse, misi militer pimpinan Kolonel Schotborgh. Kedua misi ini bertujuan melakukan evakuasi terhadap militer, ambtenaren dan orang-orang sipil Belanda. Pihak RMS membantu misi-misi ini dengan lancar hingga kesemua warga negara Belanda ini berangkat dengan kapal Kota Intan  dari Ambon menuju Jakarta . Tugas Kolonel Schotborgh tak hanya berurusan dengan evakuasi, tetapi juga harus mencegah agar pasukan pasukan eks KNIL dari Ambon tidak terlibat dengan urusan Republik Maluku Selatan, yang merupakan instruksi langsung dari Panglima tentara Belanda di Jakarta, memerintahkan semua tentara KNIL di konsinyir dan masuk tangsi-tangsi militer. Mereka yang melanggar akan menerima sangsi akan di peact dan semua hak-haknya di cabut, demikian Kantor Berita Aneta. Tetapi usaha Schotborgh sebagai Komandan Teritorial Indonesia Timur dengan mendekati dan meyakinkan tentara-tentara KNIL asal Ambon tidak membawa hasil. Bahkan sebagian besar dari mereka ini langsung mundur dari dinas KNIL dan mendaftarkan diri menjadi tentara RMS.
APRIS Mulai Memerangi RMS
Setelah memperoleh jumlah pasukan yang cukup, Panglima Kawilarang mulai menggerakan kekuatan APRIS menuju perairan Maluku di minggu keempat bulan Mei. Sasaran pertama adalah pendaratan di pulau Buru dan Seram Selatan. Dengan taktik demikian, pusat RMS di Ambon lambat laun terisolasi.
Waktu itu pasukan penyerbu TT-TI belum lagi memiliki LCM (Landing Craft Medium) dan LCVP (Landing Craft Vehicles dan Personnel). Kedua landing craft ini cocok untuk mendarat jika ada perlawanan. APRIS waktu itu hanya punyak LCI (Landing Craft Infantry) yang tak dapat begitu mendekati pantai seperti LCVP dan LCM. Lagi pula, jika LCI sudah kandas dekat pantai, tentara hanya bisa mendarat seorang demi seorang lewat dua jembatan sempit sebelah kiri dan kanan dari bagian muka LCI. Dalam bukunya, Kawilarang mengatakan: “Sebelum mendarat di Pulau Buru dan Seram kami perlu mengadakan latihan pendaratan dengan LCI di suatu pulau dekat Makassar . Latihan ini antara lain diadakan dengan dua kompani dari Bataltyon Suradji yang direncanakan akan mendarat dulu di Buru. Waktu LCI kandas dan kami turun, air laut sampai dada saya. Kapten Leo Lopulisa dan Mayor laut Alex Langkay malahan masuk laut yang lebih dalam lagi. Belum lagi prajurit-prajurit dari Batalyon Suradji. Waktu sedang melangkah ke darat, saya dengar seorang prajurit sambil batuk berteriak pada temannya, “Lho, air laut asin.” Jangan heran, mereka datang dari Solo, belum pernah masuk laut. Tetapi saya juga berpikir, pasukan pendaratan ini belum benar-benar merupakan seaborne forces.” Sesudah empat hari berlayar dari Makassar, pasukan APRIS tiba di utara Pulau Buru pertengahan Juli 1950. Ombak tinggi sekali dan hampir seluruh seaborne force, yaitu Batalyon Pelupessy dan dua kompani Batalyon Soeradji, mabuk laut. Maklum hanya dengan dua LCI dan satu LST (Landing Ship Tanks). Di utara Buru mereka rendez-vous (berkumpul) dengan kapal Waikelo yang membawa Batalyon 3 Mei pimpinan Mayor Mengko dari Manado .Esok harinya dua kompani Batalyon Suradji mendarat dahulu kira-kira lima kilometer sebelah barat Namlea. Tidak ada perlawanan. Menyusul pendaratan Batalyon Pelupessy yang akan maju ke Namlea. Ternyata pasukan ini mendapat hadangan dan menderita korban. Selain itu hampir seluruh pasukan merasa lemas. Karena pada umumnya selama empat hari muntah-muntah. Waktu pendaratan, “ransom” makan, berupa biscuit laut untuk dua hari, basah dan tak bisa dimakan. Kawilarang putuskan, supaya Batalyon 3 Mei, yang masih segar dan sehat karena diangkut dengan kapal besar Waikelo, untuk menyerbu Namlea. Hal ini terjadi di pagi hari, pada hari ketiga. Pada serangan ini Prajurit Banteng jatuh sebagai korban pertama dan Sersan Mayor Tandayu luka. Senjata-senjata yang ditinggalkan di markas RMS antara lain berupa beberapa brengun. Pasukan penyerbu sangat hati-hati mendekati markas dan gudang RMS itu. Ternyata tidak ada booby trap. Keesokan hari tiba dengan kapal korvet, Letkol Slamet Rijadi, Komandan Pasukan Maluku. Iapun gembira karena bertemu dengan Mayor Soeradji, bekas bawahannya. Disamping itu, datang juga Kapten M Jusuf yang akan menjadi ajudan Panglima Kawilarang. Kemudian di rencanakan untuk menduduki Piru dahulu oleh Batalyon 3 Mei. Kota Piru di dekati dari dua jurusan. Waktu sore hari tiba di sana , pasukan RMS sudah mengosongkannya. Sebelumnya dikirimkan tiga orang tentara eks RMS yang di tawan ke sana untuk meyakinkan pasukan RMS supaya bergabung dengan APRIS atau menyerah. Ternyata waktu Piru di duduki, ketiga orang itu sudah di tembak mati oleh komandan pasukan RMS di Piru, Nussy. Salah seorang yang dibunuh malahan Lestiluhu, komandan pasukan RMS di Buru, yang ditawan pasukan APRIS di Namlea. Ia adalah anggota Baret Hijau punya banyak teman di Batalyon 3 Mei, dimansa satu peleton juga terdiri atas bekas anggota Baret Hijau dan Baret Merah. Dua hari kemudian pasukan APRIS mendarat di teluk, kira-kira tiga kilometer sebelah utara Amahai, dengan dua kompani dari Batalyon Soeradji. Letkol Slamet Rijadi selalu berada di depan. Sesudah pertempuran kurang lebih dua jam, Amahai pun di duduki. Letkol Slamet Rijadi sebagai komandan pasukan Maluku, sementara kepala staf Mayor Herman Pieters mengkonsolidasi pasukannya. Juga dikepulauan Banda dan bagian selatan Pulau Seram sudah di kuasai pasukan APRIS. Batalyon Abdullah sudah menempatkan pasukan APRIS di kepulauan Tamimbar, Kei, Aru hingga kepulauan Geser dan beberapa tempat di Seram Selatan. Mayor Abdullah gugur dalam salah satu pendaratan di Seram Selatan. Ternyata pasukan RMS dapat menyeberangkan sebagian pasukannya dengan perahu-perahu ke Pulau Seram dan menyerang Amahai. Tetapi serangan ini dapat di patahkan oleh pasukan Mayor Soeradji.
Pertempuran empat hari di Makassar (5-9 Agustus) sempat memperlambat operasi militer APRIS ke Ambon selama sekitar satu bulan, sementara pasukan tambahan dari Jawa sudah berdatangan. Rencana penyerbuan selanjutnya adalah mendaratkan pasukan di Hitulama-Hitumesing , di utara pulau Ambon, dan pasukan lain di Tulehu dibagian timur dan sesudah dua pasukan bertemu di Paso, menyerang kota Ambon dari utara dan ada lagi pasukan lain yang akan menduduki lapangan terbang di sebelah barat pulau Ambon .
Yang akan mendarat di Hitulama dan Hitumesing adalah pasukan Mayor Jusmin dengan di pimpin oleh Letkol Soediarto. Pasukan 3 Mei pimpinan Mayor Mengko akan mendarat di Tuleho. Dalam pendaratan di Tuleho, Letkol Slamet Rijadi mendarat di sebelah selatan Tuleho dan Kolonel Kawilarang bersama Kapten Jusuf, Leo Lopulisa, Joost Muskita dan Kapten Claproth di sebelah utara Tulehu. Untuk pendaratan itu, APRIS sudah terima 10 LCM. Enam LCM akan digunakan untuk Tulehu dan empat lainnya untuk Hitu. Alex Mamusung, merupakan wartawan foto perang dari Indonesia Press Photo Service (Ipphos) yang turut meliput operasi penumpasan RMS melalui lensa foto sangat bermanfaat mengisi lembaran sejarah. Sejak pertempuran- pertempuran di Makassar, Buru, Piru, Amahai dan Ambon ia selalu ikut meliput dan mendokumentasi secara visual. Dari hasil karya foto, wartawan foto perang ini pada 17 Agustus 195, ia dianugerahi bintang oleh Pemerintah Republik Indonesia