Rabu, 11 Mei 2016

RMS DALAM CATATAN SEJARAH KE-3

Pendaratan APRIS di Ambon
Pada 28 September 1950 pendaratan berlangsung di Tulehu dan Hitu di pantai utara. Invasi APRIS berkekuatan 6½ batalyon infantry dengan menggunakan kapal-kapal amfibi LCM yang di dukung oleh tembakan-tembakan dari 4 kapal korvet dan dua pembom B-25. Pada pendaratan itu terjadi peristiwa tragis. Menurut pasukan cadangan yang menonton dari atas kapal Waikelo, melihat ketika pendaratan LCM dan keluarnya pasukan 3 Mei dari LCM sesudah kandas, merupakan suatu pemandangan yang tidak akan mereka lupakan. Kolonel Kawilarang menceritakan: “Sesudah pendaratan, saya bersama pasukan maju ke Tulehu. Begitu juga Slamet Rijadi. Lalu kami berkelompok di Tulehu dan terus maju menuju Ambon . Tetapi baru saja kira-kira satu kilometer dari Tulehu kami sudah mendapat perlawanan hebat. Dalam pertempuran ini 20 anggota “3 Mei” gugur. Waktu itu ajudan saya, Kapten Jusuf, berkata dengan suara risau, “Kijk, Soekirmo is geraakt” (Liha,t Soekirmo kena). … Soekirmo, ajudan Slamet Rijadi itu tersenyum-senyum saja, seperti tidak menderita apa-apa. Sambil memegang lengan yang tergantung dengan tangan lain, ia berjalan ke Tulehu. Sayapun kaget melihatnya bercampur bangga atas kekuatannya. Baru pada jam 3 sore pasukan maju lagi, tetapi delapan kilometer kemudian, di suatu tempat, dengan hutan lebat sebelah kanan kami, terjadi lagi pertempuran. Sedang hari sudah mulai menggelap. Lalu kami tidur di sebelah jalan, di pinggir hutan, dalam keadaan basah kuyup, karena hujan lebat mengguyur kami. Saya melihat Slamet Rijadi, ajudan lainnya, Soendjoto, Jusuf dan Muskita, semuanya kedinginan. … Sementara itu kami sudah tahu bahwa Letkol Soediarto gugur di Hitulama/Hitumesing . Ia gugur sebelum mendarat. Masih di atas LCM, waktu kandas dan pintu LCM dibuka, ia kena tembakan di perutnya. … Dalam keadaan luka parah sempat di bawa ke kapal rumah sakit, “Waibalong” dan di operasi oleh Mayor Dokter Soejoto. Peluru menembus enam usus dan waktu sedang di operasi, Letkol Soediarto menghembuskan nafasnya terakhir.”
Penyerbuan ke Ambon berlanjut. Gerakan pasukan Mayor Jusmin, dibantu pasukan Mayor Soerjo Soebandrio, terhenti dekat Telaga Kodok, karena ada perlawanan hebat dari RMS. Gerakan dari Tulehu diteruskan, tetapi juga sangat lamban, karena terus menerus di perlamban oleh sniperfire RMS, dan di daerah itu sulit sekali untuk melambung.
Sesudah beberapa hari baru pasukan APRIS tiba di Suli.
Pihak pertahanan RMS di Ambon ketika itu berkekuatan 700 pasukan bersenjata lengkap, menghadapi pasukan penyerbu melalui perlawanan cukup gigih. Korban di pihak pasukan pendarat tidak sedikit, dan senjata-senjata mereka ini berpindah tangan untuk memperkuat 1.200 pasukan RMS memperoleh senjata, hingga pertempuran sengit berlangsung antara 30 September hingga 1 Oktober 1950 untuk kemudian dikuasai oleh APRIS. Perlawanan gerilyawan RMS turut memperlambat gerakan pasukan APRIS memasuki Ambon . Letkol Slamet Rijadi sempat kecolongan, ketika di pagi hari, ia mengemudikan jeep dari Tulehu menuju Suli. Seorang anggota RMS mencoba menghentikan jeep-nya sambil menembak dari samping. Nasib baik bagi Slamet Rijadi, karena saat ditembak, dengan gerakan refleks ia memutar badannya. Tetapi lengannya kena dari jarak satu meter. Masih untung lagi, tulangnya tidak kena. Malahan ia sempat menghentikan jeep, melompat keluar untuk mengejar si penembak. Tetapi orang yang menghadang dan menembaknya dengan sigap sudah lari menghilang masuk hutan. Di awal November datang pasukan tambahan dari Jawa melalui Makassar , yakni pasukan Kapten Poniman dan pasukan Mayor Lukas Kustarjo. Untuk itu rencana penyerbuan kota Ambon disusun. Pasukan Poniman akan mendarat di selatan kota Ambon sementara pasukan Lukas Kustarjo di sebelah utara. Sesudah itu Batalyon 3 Mei akan menduduki daerah pegunungan tenggara kota Ambon . Sementara itu pasukan Mayor Jusmin dan Mayor Soerjo Soebandrio menyerang dari Telaga Kodok menuju ke jurusan Paso dan sebagian ke lapangan terbang. Detasemen Kapten Faah akan mendarat di pantai selatan Teluk Baguala, tidak jauh dari sebelah timur Paso dan dari Waitatiri maju pasukan-pasukan dari Kapten Claproth, Mayor Worang, Kapten Mahmud Pasha, Mayor Soeradji. Letkol Slamet Rijadi dan Kapten Muskita ikut dengan pasukan yang berangkat ke Waitatiri. Kolonel Kawilarang akan berangkat dengan kapal dari Tulehu, bersama dengan pasukan akan mendarat dekat kota Ambon. Mayor Achmad Wiranatakoesoemah akan memimpin pasukan ini, sementara Letkol Daan akan diperbantukan kepada Kawilarang. Kekuatan APRIS terdiri dari tiga korvet, yakni, “Patiunus” dengan Mayor Laut Rais, “Banteng” yang membawa Kolonel Kawilarang dan “Rajawali” yang bertugas melindungi pendaratan jika perlu. Perwira liaison ALRI adalah Mayor Alex Langkay. Selain itu masih ada dua bomber B-25 dari AURI dengan pilot Mayor Noordraven dan Letnan Ismail. Pada 2 November, sehari sebelum berangkat dari Tulehu, Kawilarang bertemu dengan Menteri Leimena yang datang dari Jakarta bersama Ir Putuhena dan Dokter Rehatta. Mereka di utus oleh Pemerintah Jakarta untuk mencoba melakukan misi perdamaian yang ketiga dengan RMS. Mereka juga berharap agar supaya tugas APRIS cepat selesai dan sedapat mungkin dengan sedikit korban. Secara khusus harus dijaga, jangan sampai rakyat Maluku yang sudah banyak menderita dan tidak bersalah, menjadi korban dalam pertempuran di Ambon . Tetapi sayang harapan ini tak dapat terlaksana dan sudah terlambat. Karena perang sudah terjadi sejak 28 September dan pihak RMS tidak akan mau berunding. Lagi pula mereka berada dalam posisi kocar-kacir. Pertempuran dalam kota selalu makan banyak korban jiwa dan juga harta. Sebagian besar rumah akan hancur atau terbakar. Pada 3 November di pagi hari, pasukan Kapten Poniman mendarat di kota Ambon bagian selatan. Disini Kapten Sumitro gugur. Nasib serupa dialami Letnan Komar, yang kena tembakan dan langsung tersungkur. Musuh waktu itu sempat maju lagi sambil menusuk mati beberapa prajurit APRIS yang ketinggalan dan luka-luka. Rupanya musuh mengira Komar sudah mati. Padahal ia berpura-pura tidak bernafas lagi. Seorang RMS mendekatinya sambil berkata kepada temannya, “Ini orang Ambon . Beta ambil arlojinya saja.” Letnan Komar baru tertolong sewaktu pasukan APRIS maju lagi dan berhasil menghalau musuh. Pasukan Mayor Lukas Koestaryo mendarat tepat di benteng Victoria , di sebelah utara pelabuhan. Sebelum pukul 11.00 pasukan Mayor Lukas, Kapten Poniman dan Batalyon 3 Mei sudah menduduki sebagian besar kota Ambon dekat pantai. Mayor Achmad Wirahadikoesoemah dengan stafnya berada di pelabuhan. Sementara itu pasukan dari Waitatiri sudah sampai di Paso dan bertemu dengan Detasemen Faah dan kemudian juga dengan pasukan yang datang dari Telag Kodok. Letkol Slamet Rijadi dengan pasukan Mayor Worang dan Kapten Claproth hari itu sudah berada dekat Halong. Esok harinya, 4 November 1950, mereka meneruskan gerakan ke kota Ambon dan sampai di utara kota pukul 15.00. Sementara itu, di sekitar Fort Victoria , pada pukul 12.00 siang hari itu, keadaan berubah. Pasukan RMS dengan panser menyerang Fort itu hingga dekat pelabuhan. Waktu itu pasukan APRIS terpisah di sebelah utara kota Ambon , di Batumerah. Untung tak lama kemudian datang pasukan Slamet Rijadi dan mematahkan serangan RMS.
Slamet Rijadi Gugur
Tiba-tiba saja Panglima Kawilarang menerima kabar yang mengangetkan. APRIS menderita korban yang sangat berarti, Letnan Kolonel Slamet Rijadi kena tembak. Alex Kawilarang mengisahkan: “Saya tidak melihat sendiri bagaimana Slamet Rijadi waktu kena tembak itu. Tetapi saya dengar, bahwa ia sempat dibawa ke kapal (rumah sakit) ‘Waibalong’ di Tulehu. Kemudian saya mendapat keterangan, bahwa ia belum bisa di operasi, karena masih kena shock. … Laporan kemudian menceritakan adegan sebelumnya, yakni pada 4 November 1950 itu, Letkol Slamet Rijadi bergerak dari Galala ke Batumerah, di tepi kota Ambon . Tindakan ini diambil oleh Slamet Rijadi karena suasana dan keadaan dalam kota masih menunjukkan adanya oertempuran antara pihak RMS dengan pasukan Mayor Achmad Wiranatakoesoemah. Slamet Rijadi berhasil memasuki kota dan segera terlibat dalam pertempuran yang sengit… Letkol Slamet Rijadi berada di depan duduk di atas tank. Kemudian, nasib menentukan, serentetan tembakan bern dari seorang RMS mengenai perutnya dengan parah. Peluru kena di metal dari belt-nya (ikat pinggang) dank arena itu jadi dum-dum. Lukanya besar. Akibat luka-luka yang amat parah itu akhirnya Letkol Slamet Rijadi gugur. … Dokter Abdullah, yang turut serta dalam serangan ke Maluku Selatan ini, meninggalkan sebuah laporan berbentuk sajak mengenai gugurnya Slamet Rijadi ini: Tanggal 4 November/ Jam 21 seperempat/ Overste Slamet/ telah mangkat/ Terkabullah kehendaknya/ Oleh Tuhan Yang Maha Esa/ Ia ingin mati muda. … Semoga Tuhan/ Menerima arwahnya/ Sebagai umat/ Yang teguh beriman/ Amin.
Jenasah Letkol Slamet Rijadi di makamkan di pekuburan Pasir Putih di Tulehi. Sepuluh tahun kemudian jenasahnya dipindahkan ke makam pahlawan Kapaha, yang letaknya sekitar 3 km sebelah timur kota Ambon
Joop Warouw menggantikan posisi Slamet Rijadi membebaskan Ambon
Pada 7 November 1950, tiga hari setelah Letkol Slamet Rijadi gugur, Kolonel Kawilarang mengirim kabar ke Manado dan Makassar, dan meminta supaya Letkol Joop Warouw segera datang ke Ambon untuk mengisi posisi Slamet Rijadi sebagai Komandan Pasukan Maluku. Pada 8 November, Kawilarang sebagai Panglima keliling kota Ambon sebelah utara dan timur laut untuk menemui Kapten John Somba dan Letnan Wim Tenges. Kedua mereka ini dari Batalyon Mayor Hein “Kimby” Worang. Kepada mereka Kawilarang menugaskan untuk menyerang di sore hari dan mengembalikan hubungan dengan pasukan APRIS di pelabuhan, dan harus berhasil! Dari Kapten Jusuf, Kawilarang mendapat keterangan mengenai ucapan Somba yang mengatakan: “Tidak perlu panglima bicara dengan kami dan memberi semangat. Perintah saja sudah cukup. Kami laksanakan.” Pada hari itu juga, di sore hari, Batalyon 3 Mei yang juga di dukung Batalyon Worang berhasil menguasai seluruh kota dan pinggirannya, sesudah kompani Kapten Somba merebut Fort Victoria dan sambil berlarian maju terus, mengembalikan hubungan dengan pasukan APRIS di pelabuhan. Kompani Letnan Tenges, lebih ke sebelah timur kota , dapat berhubungan dengan pasukan 3 Mei dan dengan pasukan yang baru tiba via pelabuhan di bawah pimpinan Mayor Soetarno.
Pada 9 November, Panglima Kawilarang memeriksa kota yang sebagian besar kota hancur. Ternyata pada hari itu juga Letkol Warouw sudah berada di Ambon . Sejak itu pun ia memegang komandan pasukan Maluku dan Mayor Herman Pieters sebagai Kepala Staf. Warouw datang dengan kapal terbang ke Buru, dan dari sana ia naik kapal laut ke Ambon .Pasukan musuhpun terdesak dan menjauhi kota Ambon dan memindahkan kekuatan di Seram. Pada 16 November 1950 bandar udara Laha berhasil di kuasai oleh pasukan APRIS. Musuh kebanyakan lari ke Soya diatas, untuk terus ke Seram. Pihak RMS berusaha bergerilya di Haruku dan Saparua, tetapi dapat di duduki oleh APRIS tanpa ada korban. Pada 25 November 1950, Kolonel Kawilarang tiba di Ambon setelah lebih dari dua minggu berada di Makassar . Ketika berada di Ambon, suasana  sudah lain, lebih ramai orang di jalan-jalan dan kota sudah bersih, walau sebagian besar rumah-rumah rusak. Kawilarang bertemu dengan Dokter J B Sitanala, ayah dari Mayor Sitanala, komandan APRIS di Bali. Kalau berbicara ia selalu berterus terang dan kepada Kawilarang ia mengatakan: “Tahun 1942 Jepang datang di Ambon selama dua hari mengambil barang milik rakyat. Tahun 1945 pasukan Australia datang dan selama tujuh hari mengambil barang rakyat. Tahun 1950 TNI datanf dan setelah selama 14 hari mengambil barang rakyat, baru ada tindakan.” Kawilarang tak dapat berkomentar karena masih banyak advonturier dalam tubuh TNI. Mengenai para pelaku RMS, banyak yang kocar-kacir. Beberapa menteri seperti Gasperz dan Tom Pattiradjawane menyerahkan diri. Presiden Manuhutu dan beberapa menteri lainnya bersama beberapa perwira APRMS lainnya melarikan diri ke pulau Seram melalui Rutung dan Hutumuri untuk melanjutkan perlawanan. Juga terdapat Wairizal, Soumokil, Manusama, Ohorella, Pesuwarissa, Henk Pieter dll. Di Seram dibentuk pemerintah perjuangan dengan susunan: Presiden Manuhutu, PM Wairizal merangkap Menteri Dalam Negeri, Mr. Dr. Soumokil (Menteri Luar Negeri merangkap Menteri Kehakiman), Manusama (menteri pertahanan), Ohorella (Menteri Sandang-pangan) , G H Apituley (Menteri Keuangan), M A Tetelepta (Menteri Pendidikan, Z Pesuwarissa (Menteri penerangan dan sosial), dokter M Haulussy (Menteri kesehatan) dan Henk Pieter (Menteri Lalu-lintas dan pengairan).
Pucuk pimpinan APRMS yang tersisa membentuk kekuatan organisasi militer gerilya. Organisasi bersenjata ini di pimpin oleh Kolonel Tahapary sebagai Panglima, Kolonel W F Sopacua sebagai Kepala Staf, sementara Kolonel Nussy dan Kolonel Sopamena menjabat sebagai staf. Selain Staf juga mengangkat Penasehat, yakni Letkol I J Tamaela. Tetapi perang gerilya RMS justru menjadi kemahiran Panglima Kawilarang dan perwira-perwira TNI lainnya waktu melawan pasukan Belanda di Jawa dan Sumatra . Para gerilyawan RMS di Seram tidak diberi peluang untuk istirahat dan digempur terus. Akibatnya banyak dari RMS menjadi korban, terutama di kalangan pasukan dan pucuk pimpinan APRMS. Juga  banyak menteri terbunuh. Sementara Manusama dan Wairizal melarikan diri ke Papua.
Kekuatan RMS berhasil dipadamkan
Jatuhnya Fort Victoria pada 8 November 1950 secara definitif telah menghancurkan kelanjutan RMS. Padahal banyak di antara elit-elit politik yang membentuk ataupun mendukung RMS tidak sadar mereka ini adalah korban verdeel-en-heerst- politiek (politik adu domba) yang di terapkan oleh kolonial Belanda untuk saling membunuh di antara anak-anak bangsa penghuni gugusan nusantara ini. Bagi RMS untuk membentuk suatu negara juga waktunya sangat singkat, dan tanpa melalui suatu proses yang memerlukan waktu pendalaman yang cukup lama untuk membentuk suatu bangsa. Lagi pula pengadaan RMS hanya melalui emosi sentimen, dan hanya menjadi korban impulsif dari kalangan yang tidak meraih kepentingannya.
Sementara itu komandan pasukan Maluku di pertengahan 1951 dari Letkol Joop F Warouw diganti oleh Kolonel Soeprapto Sokowati, sementara Warouw kembali ke Manado melanjutkan posisinya sebagai Komandan KOPASUMU. Kawilarang memeriksa Batalyon Matalatta dan Batalyon Rivai di Seram. Ia perhatikan cara mereka bergerak sebagai pasukan anti-gerilya. Kawilarangpun bertanya siapa yang memberi latihan? Merekapun menjawab: “Kapten Muskita.” Sebab, Vuursdiscipline- nya (disiplin menembak) juga hebat, Mereka terus mobil, dan tidak memberikan kesempatan pada musuh untuk beristirahat. Kawilarangpun teringat pada ilmu itu yang pernah dipelajarinya, “Beter meer zweet dan bloed.” (Lebih baik banyak keringat dari pada darah). Begitulah cara perang anti-gerilya. Yang tidak mengetahui ilmu itu, kadang-kadang mereka mau mengambil jalan pintas, supaya cepat. Padahal di lapangan yang terbuka, seringkali itu berbahaya. Sebab itu lebih baik mengambil jalan berkeliling tetapi aman, dan bisa menyerang mendadak daripada mengambil jalan pintas tetapi terbuka dan gampang ditembak dan disergap musuh.
Pulau Seram luas sekali dan hutannya lebat. Anti-gerilya setengah mati mencari gerilya di sana , dan ini tentu makan waktu lama. Pada permulan November 1951 Kawilarang di pindahkan ke Jawa Barat untuk menjabat sebagai Panglima TT-III Siliwangi. Sebenarnya tugas belum selesai dan masih berada di Seram, dan gemobng RMS, Mr Soumokil masih bertahan dan menyembunyikan diri dari kejaran TNI.
Baru pada 12 Desember 1963, Soumokil tertangkap di dekat Wahai, Seram Utara bagian tengah oleh prajurit-prajurit  dari Batalyon Endjo, Siliwangi.Riwayat petualangan gembong RMS, Mr Dr. Soumokil yang menjadi penyebab pemberontakan Andi Azis di Makassar dan pemerontakan RMS berakhir dengan di jatuhi hukuman mati oleh Mahkmah Militer Luar Biasa di Jakarta pada 22 April 1964.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar