Pergolakan-pergolakan
rakyat yang terjadi baik di pulau Seram, Ternate, Tidore, Ambon, Banda, Saparua bahkan hampir diseluruh kepulauan Maluku untuk menenteng VOC, berawal dari upaya penguasaan wilayah dan monopoli perdagangan yang dilakukan oleh bangsa
Belanda dengan manejemen badan dagangnya
(VOC). Strategi monopoli perdagangan rempah-rempah untuk menguasai wilayah dan jalur perniagaan
rempah-rempah ini berawal dari peristiwa
jatuhnya Konstantinopel ketangan Turki
pada tahun 1453, yang mengakibatkan jalur
perdagangan yang menghubungkan Asia
dan Eropa terputus, sehingga mendorong orang-orang Eropa untuk mencari langsung ke daerah Maluku penghasil komoditi
dagang yang bernilai tinggi di pasaran Eropa. Salah satu komoditi
yang menjadi incaran terutama cengkih, pala dan fulinya. Rempah-rempah menjadi penting karena keuntungan yang
didapatkan dari hasil penjualan di Eropa lebih besar, jika
dibandingkan dengan, barang dagagan lainnya. Komoditi
ini hanya dihasilkan di kepulauan Maluku
yaitu cengkih di Maluku Utara dan Semenanjung Huamual di pulau Seram, sedangkan
pala dan fulinya di kepulauan Banda.
Tidak
mengherankan bila penulis Italia Vega Vieta yang ikut berlayar dengan
orang-orang Spanyol ke Maluku, menjelaskan bahwa Maluku Utara menghasilkan
cengkih dan Banda penghasil pala dan
fuli yang sangat mahal di Eropa. Orang Eropa awalnya
datang sebagai kelompok pedagang, kemudian
berhasil menjalin hubungan dengan
penduduk. Akan tetapi dalam
perkembangan selanjutnya mereka melakukan berbagai cara untuk menguasai daerah-daerah strategis, baik secara
ekonomis maupun politik. Portugis adalah
orang Eropa pertama menginjakan kakinya
di kepulauan Maluku pada tahun 1512,
disusul Spanyol tahun 1521 di Maluku Utara setelah melakukan pelayaran mencari daerah penghasil rempah-rempah seperti yang telah dijelakan
pada bagian awal tulisan ini. Pada tahun 1599 orang Belanda di bawah pimpinan Wijbrand
van Warwijk tiba di Ambon dan
menjalin kerja sama dengan Hitu,
yang pada waktu itu bermusuhan
dengan Portugis. Kemudian Steven
van der Hagen bersama dengan rakyat
Hitu pada tanggal 23 Februari 1605,
berhasil menaklukan Portugis di pulau Ambon. Kehadiran
Belanda di Maluku awalnya disambut
oleh penduduk dengan antusias, akan tetapi
kegembiraan yang dirasakan penduduk
tidak berlangsurag lama, karena Belanda
mulai menampakkan keinginan mereka untuk menguasai wilayah ini, dengan melakukan berbagai perjanjian-perjanjian yang membebani
dan membatasi kebebasan masyarakat dalam dunia perdagangan
rempah-rempah.
Pada tahun 1599 Jacob van Heemskerk telah
berhasil membuat kontrak kesepakatan dengan para pemimpin negeri di pulau Banda
saat ia berangkat dari Banten menuju Pulau Ambon dan terus ke Banda untuk
mencari rempah-rempah fuli dan biji pala yan sangat berharga di Eropa saat itu.
Isi kontrak itu diantaranya adalah menyangkut pembelian fuli dan buah pala yang
dibeli dengan harga lebih tinggi dari para pedagang yang lain. Kontrak/ kesepakatan
ini kemudian diperbaharui lagi oleh Laksamana Steven van der Hagen dengan cara
mengngkat sumpah diantara kedua belah pihak dengan tujuan menegahkan aturan
yang telah disepakati bersama. (P.A. Loupe : 1854 : 385). Kesepaktan berikutnya dilakukan antara kedua belah
pihak untuk menjaga keharmonisan antara
pemimpin negeri di Banda yang dikenal sebagai “Orang Kaya” agar tidak terjadi
insiden-insiden yang pernah terjadi antara masyarakat Banda dengan pihak
Kompeni Belanda. Kesepakatan tersebut dilaksanakan pada tahun 1602 oleh Laksamana
Wolphert Hermanszon dengan tujuan memperbahrui kembali kesepakatan atau
perjanjian yang pernah dibuat sebelumnya oleh Van Heemskerk.
Isi perjanjian itu menyangkut hal-hal
sebagai berikut :
(1). Kebebasan untuk beragama
tanpa ada tekanan dalam bentuk apapun kepada setia orang.
(2). Orang-orang Kompeni Belanda
dilarang untuk memiliki wanita pribumi dari Banda.
(3). Kompeni Belanda dilarang masuk ke rumah penduduk tanpa isin dari
pemiliknya
(4). Pihak Kompeni dilarang
menghukum orang tanpa bersalah
(5). Tidak boleh ada orang yang
dipaksakan untuk menyelesaikan suatu perkerrjaan yang bisa merugikan
pribadinya.
(6). Orang-orang Banda siap untuk
menjul fuli dan buah pala kepada pihak kompeni Belanda.
Kerjasama antara kedua belah pihak akan terus
dipertahankan dan Kompeni diberikan kebebasan untuk membeli rempah-rempah
secara bebasa. Orang-orang Banda tidak akan menyerang Kompeni asalkan Kompeni
bersedia mengembalikan oanng-orang Banda yang melarikan diri akibat perang (Tijdschrifi vor Nederland Indie 1854 : 107).
Bedasarkan perjanian di atas, maka pihak Orang kaya Banda
berjanji kepada pihak Kompeni Belanda bahwa :
1.
Mereka akan mengambil sumpah dan mengakui otoritas resmi Kompeni Belanda
serta keturunannya sebagai penguasa sehingga mereka selalu taat kepada Gubernur
sebagai penguasa di Maluku.
2.
Mereka akan meyerahkan tanah untuk pembuatan benteng dan memberikan
keluesan untuk memperoleh semua kebutuhan makan dan buah-buahan yang ada di
Banda.
3.
Sesuai Pengakuan yang dibuat, maka mereka akan menjual sepersepulluh
dari hasil panen pala meka kepada Kompeni Belanda
4.
Hasil tanaman mereka baik di pulau Ai maupun di pulau Naira, tidak akan dijual kepada pedagang lain
kecuali kepada Kompeni Belanda
5.
Rencana pembanguan benteng tidak ada pihak-pihak yang menghalanginya
6.
Orang-orang Banda tidak boleh memiliki peradilan sendiri sehingga harus
diserahkan kepada Gubernur VOC di Maluku untuk memutuskan pekara secara
bersama-sama dengan orang kaya Banda
7.
Oranng Banda berjanji dan mengambil sumpah untuk tetap patuh kepada
kepemimpinan Gubernur VOC dan taat atas semua perintahnya
8.
Mereka telah berjanji dan mengambil sumpah untuk menghukum setiap orang
yang secara terang-teranngan melakukan persekongkolan untuk melawan Kompeni
Belanda (P.A. Loupe 1854 : 385-386).
Menurut P.A. Loupe bahwa
perjanjian sering dilakukan antara pihak VOC degan para pemimpin di pulau Banda
karena selam 12 tahun yaitu dari 1599-1621 mereka belum berhasil menguasai
pulau Banda yang kaya akan fuli dan buah pala. Perjanjian berikutnya yang dilakukan oleh pihak VOC dengan para penguasa pribumi di
Maluku adalah dengan pimpinan negeri Hitu di pulau Ambon jazirah Leihitu pada 7 Februari 1605. Isi perjanjian yang disepakati oleh pihak VOC dengan para pimpinan Hitu
adalah sebagai berikut:
1.
Hitu akan membantu Komprni Belanda dan tidak menyerang orang-orang
Belanda (VOC)
2.
Masing-masing pihak akan berpegang pada agama serta menjaga keharmonisan
antara satu sama lainnya
3.
Gubernur Kompeni Belanda akan menghukum orang Belanda yang melakukan
kejahatan terhadap orang-orang Hitu
4.
Saling membantu antara Uli Siwa dan Uli Lima dalam menyelesaikan suatu
pekerjaan terutama untuk kepentingan VOC
5.
Cengkih milik orang-orang Hitu hanya dijual untuk Kompeni Belanda (VOC)
Tanggal 15 Februari 1605 dilakukan perjanjian dengan raja
negeri Oma di pulau Haruku yang telah berhasil menandatangani perjanjian pendek yang berisi 3 poin
utama yaitu;
1.
Masyarakat Negeri Oma mengakui dan taat kepada kepemimpinan Kompeni
Belanda.
2.
Masyarakat Negeri Oma mengakui
tata kelola perdagangan dan pemerintahan yang dilakukan oleh VOC.
3.
Masyarakat Negeri Oma siap memberikan bantuan tenaga bila diminta oleh
VOC atau Kompni Belanda (P.A. Loupe 1854
: 385-386, R.Z. Leirissa : 1975 : 23-33).
Rupanya pihak Kompeni Belanda telah mempelajari kondisi politik
masyarakat Maluku yang sementara
berperang melawan Portugis saat itu, sehingga satrategi yang mereka pakai untuk
melakukan berbagai perjanjian dengan penguasa lokal bertujuan untuk mendapatkan
dukungan. Sebaliknya pihak Kompeni Belanda berharap bahwa dengan adanya
kontrak-kontrak politik yang dilakukan akan berdampak positif kepada mereka
terutama mendapat sekutu yang banyak dari Maluku untuk mengusir orang-orang
Portugis karena takut disaingi dalam dunia perdagangan rempah-rempah cengkih
dan pala saat itu.
Perjanjian-perjanjian yang dilakukan oleh pihak VOC dengan tujuan mengikat penguasa lokal sehingga mereka dengan leluasa
dapat menjalankan misi atau tujuan mereka yaitu monopoli perniagaan cengkih di Maluku. Kontrak-kontrak
baru atau perjanjian-perjanjian dengan penguasa di Maluku Utara dalam hal ini
Sultan Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan juga dibuat untuk menguasai
perdagangan cengkih yang sangat ramai di daerah itu dan pada akhirnya
menimbulkan pemberontakan-pemberontakan rakyat melawan Kompeni. Mengenai
pemberontakan di Maluku Utara, lihat I.O. Nanulaitta 1966, Meliterisme Ambon
Menentang Kolonialonialsme Sebagai Suatu Persoalan Politik, Sosial Ekonomi.
Baca juga R.Z Leirissa 1975 : 23-33, Maluku Dalam Perjuangan Nasional
Indonesia.
Demer dalam memorinya yang disampaikan kepada
Gubernur Jenderal van Lijn di Batavia dan dewan Hindia Belanda seperti yang
termuat dalam sumber (J. E Heeres 1897 : 511), menjelaskan tentang berbagai
peristiwa yang telah ia jalankan selama masa kepemimpinnanya di Maluku, dan
dari memori ini banyak persoalan menyangkut kondisi sosial, ekonomi dan politik
di daerah Maluku diketahui penuh dengan perubahan akibat kebijakan-kebijakan
yang diambil oleh pihak Kompeni Belanda. Yang menarik dari memori ini adalah
banyak persoalan politik, ekonomi dan sosial yang timbul setelah kedatangan VOC
dan upaya pemimpin-pemimpinya untuk menegahkan supermasih kekuasaan di daerah
Maluku terutama pulau Ambon, Seram, dan Lease. Dalam memorinya Demmer
mengatakan bahwa kompeni menjadi kekuatan terbesar di Ambon dan sekitarnya (Seram,
Buru, Saparua Haruku Nusalaut dan
kepulauan Maluku lainnya). Ia menjelaskan pula mengenai pengaruh orang-orang
Belanda untuk monopoli cengkeh dan ternyata monopoli yang dijalankan pada saat
itu membuat kepulauan Maluku menjadi begitu penting bagi kompeni (VOC),
sehingga dengan sekuat tenaga maupun berbagai modus yang dilakukan, pada
akhirnya mereka berhasil menaklukan wilayah Maluku sebagai tujuan akhir dari
strategi penguasaan yang telah direncanakan secara matang
Untuk misi ini dapat tercapai dengan baik,
maka Demmer melakukan pengusiran besar-besaran dari tempat tinggal para
penduduk pribumi di pedalaman dan menunjukan tempat baru bagi mereka di daerah
pesisir dengan tujuan dapat mengontrol masyarakat yang telah ditaklukan secara
periodik. Peristiwa ini telah memporak porandahkan kehidupan masyarakat Maluku
dan telah menciptakan penderitaaan yang berkepanjangan bagi penduduk pribumi.
Penderitaan yang dialami saat itu bukan saja soal fisik tetapi secara sikologi,
karena pihak VOC telah menciptakan suasana traomatik berkepanjangan dikalangan
penduduk pribumi. Penduduk telah dipksa meninggalkan kampung halaman mereka di
gunung-gunung yang telah ditempati oleh para leluhurnnya bertahun-tahun dan
merupakan aset yang sangat berharga sebagai sumber penghidupan mereka karena
menghasilkan sumber daya alam yang kaya untuk kelanjutan hidup mereka. Sistem ekonomi dan perdagangan yang telah
mereka bangun dengan pola barter antara pedagan nusantara ikut runtuh, dan
berubah drastis akibat kebijakan VOC. Dengan sekejap pendatang baru (VOC)
dengan pimpinannya Demmer yang terkenal kejam dan suka mengatur itu, telah
berhasil menguasai beberapa daerah di Maluku terutama pulau Ambon dan Lease.
Demmer juga berpandangan bahwa daerah yang
telah dikuasai melalui suatu perlawanan, bisa dianggap sebagai daerah taklukan
VOC, sehingga daerah tersebut dapat diperintah sesukanya. Semasa
kepemipmpinannya Ia juga menciptakan perubahan dalam bidang sosial dan politik
lokal terutama untuk mematahkan kekuatan penguasa lokal dalam hal ini Upu
Latu (Raja) dan semua perangkat pemerintahannya termasuk mengurangi
kekuatan kesultanan Ternate. Menurut Demmer bahwa semua kontrak politik yang
telah dilakukan antara pihak VOC dengan penguasa lokan tidak boleh dilanggar
dan apabila terjadi pelanggaran maka akan dihukum seberat-beratnya. Masyarakat
juga terikat dengan kerja wajib yang merupakan salah satu bentuk kerja rodi
terutama diproyek-proyek perbentengan dan kerja kora-kora (perahu angkutan
laut) maupun proyek lain milik VOC. Selain itu strategi untuk melakukan
kegiatan penginjilan sebagai bagian dari upaya kristenisasi dan juga upaya
peyelenggaraan pendidikan bagi penduduk pribumi (J. Heeres, 1897 : 512).
Dua faktor utama yaitu penyiaran agama
Kristen dan pengembangan pendidikan merupakaan langkah penting bagi Demmer di
daerah Maluku sehingga ada sisi positif yang tidak bisa diabaikan dari
kebijakannya karena turut mempengaruhi pertumbuhan kehidipan sosial politik
yang berkembang di daerah Maluku saat itu. Disisi yang lain jalinan kerjasama
antara para pedagang dari Makasar, Melayu, Jawa, Arab dan Cina merasa terganggu
oleh kebijakan VOC yang mebuat segala peraturan atau perjanjian dalam bentuk
ikatan dengan para penguasa lokal untuk perdagangan rempah-rempah yang
sebelumnya tidak pernah ada. Perdagangan biasanya dilakukan secara bebas antara
pedagang dan penduduk pribumi di kepulauan Maluku terutama di Huamual. Selama
25 tahun semenjak VOC menegahkan supermasihnya di Maluku, kebebasan dalam
sistem perdagangan rempah-rempah cengkih dan pala yang semula tertata baik dan
berlangsung dalam iklim perniagaan sehat tanpa tekakanan apaun, tiba-tiba
berubah akibat kontrak-kontrak politik yang dibuat oleh VOC dengan sasaran
monopoli rempah-rempah disatu pihak (J.E.Heeres, 1897 : 515).
Kondisi seperti di atas tidak dapat
dipertahankan oleh para petani maupun para pedagang karena mereka adalah pihak
yang dirugikan akibat perjanjian atau kontrak perdagangan yang bertujuan
melumpuhkan aktivitas pedagang lokal dari berbagai Nusantara maupun beberapa
dari mancanegara seperti Portugis, Inggris dan Jepang. Langkah bijak yang
ditempuh oleh petani maupun para pedagang di semenanjung Huamual saat itu
adalah mengelabui pihak VOC, dengan cara melakukan aktivitas perdagangan
rempah-rempah secara sembunyi sehingga tidak diketahui oleh perwakilan Kompeni
Belanda di Huamual. Namun cara transaksi seperti itu dianggap oleh petani
maupun pihak pembeli sangat merugikan mereka sehingga Para pedagang dari
Makasar, Jawa, Melayu dan dari berbagai penjuru daerah di Nusantara maupun
Cina, Arab, Jepang, dan Eropa (Inggris) secara terang-terangan kembali melakukan
transaksi dagang dengan para petani cengkih tanpa menghiraukan pihak Kompeni
Belanda. Mereka juga berani membeli cengkih dengan harga yang lebih tinggi
sehingga pemilik-pemilik kebun cengkih tidak lagi patuh terhadap kontrak yang
dibuat antara pihak Kompeni Belanda (VOC) dengan Sultan maupun
pemimpin-pemimpin negeri, karena harga beli yang mereka tetapkan terlalu murah
bila dibandingkan dengan pedagang lainnya. Yang menarik dalam kasus ini adalah
kebijakan Gimelaha Luhu (wakil Sultan) dan para pembantunya di negeri
Luhu, Liaela, Kambelo dan beberapa pemimpin negeri di semenanjung Huamual, seperti Buano, Kelang dan Manipa
turut memberikan dukungan kepada para pedagang lain untuk membeli cengkih
secara terbuka sehingga menimbulkan pertentangan baik antara Sultan dengan Gimelaha
Leliato di Luhu selaku pembantunya di Huamual, maupun antara Gimelaha Leliato
dengan pihak Kompeni Belanda (VOC). (J.E.Heeres 1897: 515). Kebijakan Gimelaha
Leliato dengan beberapa pemimpin negeri di Huamual turut memperuncing situasi
politik saat itu, karena sebelumnya telah terjadi ketegangan antara berbagai
pihak yang terlibat dalam urusan perdagangan Cengkih.
SEJARAH
PERTEMPURAN MASYARAKAT MANIPA MENENTANG VOC 1651.
Sebelum masyarakat Asaude dan Kelang, Buano dan Hatuputih ke pulau
Manipa, terjadi pergolakan antara rakyat Huamual dengan VOC pergolakan ini
terjadi karena VOC melakukan invansi ke daerah Huamual, invansi ke Huamual
disebabkan karena masyarakat Huamual tidak mau menjual cengkih kepada VOC
padahal sebelumnya telah terjadi perjanjian antara VOC dengan masyarakat di wilayah
kekuasaan VOC di Ambon yang meliputi, pulau Ambon, Seram, Lease, Buru,
Ambalauw, Kelang, Buano, Manipa, Seram Kecil dan Seram Laut. Perjanjian
ini dibuat pada tanggal 29 Agustus 1609 bahwa cengkih harus
dijual kepada VOC Namun masyarakat di Huamual menjualnya kepada pedagang
Inggris, Jepang dan pedagang Nusantara seperti Jawa dan Makassar dikarenakan harga
yang dibayar oleh VOC terlalu murah, akibatnya pada 14 Mei 1625 Herman Van der
Speult dan Jan van Gorcum menyerang Huamual dengan satu armada Hongi terdiri
dari 5 buah kapal 26 kora-kora bersama 900 prajurit bangsa kulit putih dan 2000
orang Ambon dari Leitimur dan pulau-pulau Lease peretempuran ini berlangsung
selama enam Minggu akibatnya masyarakat Huamual yang dipimpin oleh Gimalaha Leilato mengalami kekalahan
(Maryam R.L Lestaluhu 1988: 122-123).
Setelah pergantian Gubernur Gijsels
dengan Arnold de Vlaming masyarakat
Huamual mulai menyusun taktik perang glirya, salah
satunya masyarakat yang berasal dari Asaude, mereka ke pulau Manipa untuk
melakukan pertempuran melawan VOC pada
tahun 1651 dibawah pimpinan Gimelaha Majira dan Laksamana Laut Saidi
terhadap loji-loji Kompeni Belanda di Huamual yang meliputi pulau Manipa,
Kelang dan Buano. Penyerangan ini dilakukan pada saat Gubernur Arnold De
Vlaming van Oudshoorn sedang melakukan perjalanan ke Ternate untuk menyelesaikan
persoalan yang dihadapi oleh V.O.C di daerah tersebut. Peristiwa penyerangan di
Manipa telah menyebabkan jatuh korban yang banyak dipihak Kompeni Belanda.
Pulau Manipa semenjak pemerintahan Gubernur Gerard Demmer, Kompeni
Belanda telah membangun sebuah benteng kecil dan ditempatkan seorang Onderkoopman sebagai pemimpin ditempaat
ini. Namun berdasarkan beberapa sumber Kolonial diperoleh keterangan bahwa
sebelum ditempatkan seorang Onderkopman
untuk mengurus pulau ini, pada tahun 1651 telah ditempatkan seorang pegawai
Kompeni Belanda dengan tugas mengawasi perdagangan cengkih di pulau Manipa.
Pimpinan Kompeni ini adalah Sersan Laurens
Sipkens yang pernah menjadi korban pembantaian yang dilakukan oleh penduduk
pulau Manipa yang memberontak karena menurut mereka ia telah melakukan
pelarangan untuk transaksi perniagan cengkih dengan para pedagang lain yang datang
di Manipa dan sekitarnya. Mereka membakar kubu pertahanan dan membunuh Sersan
Laurens Sipkens dengan tiga anak kecilnya. Istri Laurens Sipkens, Senora
Catharina, ditangkap dan dibawa ke Buru sebagai tawanan perang, tetapi ia
berhasil meloloskan dirinya dan menyampaikan laporan tentang serangan atas
pertahanan Kompeni Belanda di Manipa sedangkan beberapa orang yang lain
akhirnya disiksa dan dibunuh. Diduga
sebelum ada Onderkoopman ditugaskan
di pulau ini, ada sebuah benteng kecil, berupa barikade kayu atau sejenisnya
yang pada masa Gubernur Simon Cos tahun 1657 digantikan dengan sebuah benteng
batu bernilai tempur tinggi yang diberi nama Wantrouw.


Gambar Benteng Wantrouw di Tomalehu Timur.
Onderkoopman pertama
yang ditempatkan di pulau Manipa adalah Johan Comans dengan tugas khususnya
untuk menjaga pulau ini dari para Canga
(bajak laut) yang sering bermarkas di sana. Onderkoopman
Johan Comans menikah dengan adik perempuan dari Kapten Verheiden yang ikut bersama
suaminya tinggal di Manipa. Tugas Onderkoopman
ini selain menjaga aktivitas bajak laut, juga turut mengawasi agar tidak
terjadi transaksi penjualan senjata dan amunisi kepada rakyat yang dipasok oleh
para pedagang lain dari luar daerah. Pada masa ia bertugas banyak terjadi
penebangan pohon-pohon cengkih yang
dilakukan oleh Komepeni Belanda dan ia tetap menjaga pulau ini selama beberapa
tahun dan berakhir pada tahun 1656. Ia diganti oleh Onderkoopman Gerard Bonser yang nantinya mengalami peristiwa keji
karana ia dan anak istrinya terbunuh di pulau Manipa yang dilakukan oleh
penduduk bersama pasukan bantuan dari berbagai negeri di Huamual dan
pulau-pulau sekitarnya yang dimotori oleh Gimelaha
Majira dan Kapitan Laut Saidi.
Secara berturut-turut beberapa peristiwa
peyerangan yang dilakukan oleh kedua piminan karismatik ini terhadap Kompeni
Belanda di pulau Manipa dan pulau-pulau kecil lainnya di wilayah Huamual Seram
Barat, benar-benar telah membuat pihak Kompeni Belanda kewalahan. Peristiwa
keji yang pernah dialami oleh Onderkopman
Gerard Bonser bersama keluarga ini dikisahkan oleh Van de Wall sebagai tahun
bencana bagi Kompeni Belanda dimana semua rakyat disetiap pulau berusaha melepaskan
diri dari kekuasaan Kompeni Belanda dan terjadi pemberontakan dari suatu pulau
ke pulau yang lain sehingga mengakibatkan pembunuhan terhadap Onderkoopman Gerard Bonser bersama istri
dan anak-anaknya. Gerard Bonser yang belum memahami karakter masyarakat di
pulau itu mengalami penyerangan dan pembantaian yang sangat kejam akibat
pembalasan yang dilakukan oleh rakyat di Manipa karena banyak pohon cengkih
milik petani ditebang oleh Kompeni Belanda.
Pada awalnya dengan taktik berunding untuk
membahas sebuah surat tuntutan dari rakyat di pulau Manipa yang ingin berdamai
dengan pihak Kompeni, maka Onderkoopman
Gerard Bonser keluar dari benteng untuk memenuhi permintaan rakyat Manipa. Pada
saat itulah pasukan perang yang telah siap untuk menyerang masuk ke dalam
benteng dan membunuh Onderkoopman
Gerard Bonser yang tidak mengetahui rencana penyerangan itu (Van de Wall 1928: 222).
bersambung .... tungggu kelanjutanya..
[1] Para pemimpin negeri-negeri di kepulauan Banda yang
memiliki peranan besar dalam sistem politik pemerintahan tradisional yang
sebelum kedatangan bangsa Barat, maupun Arab, ke Maluku. Para orang kaya telah memiliki kekuasaan atas wilayah yang telah
dibagi berdasarkan dua aliansi politik besar yaitu Orlima dan Orsiwa (pembaian
Lima dan Sembilan). Dua kekuatan aliansi politik lokal ini sama-sama memberikan
dinamika positif terhadap perkembangan
masyarakat kepulauan Banda baik sosial, politik, ekonomi serta menjaga
keharmonisan hidup antara sesama, dan pernah berkembang menjadi sebuah pusat
perniagaan rempah-rempah karena diidukung oleh teknologi trsdisional pembuatan
perahu sebagai unsur dominan dari ciri budaya maritim yang berkembang saat itu.
lanjutannya bang?
BalasHapus