Sabtu, 07 Mei 2016

SEJARAH PERTEMPURAN MASYARAKAT MANIPA MENENTANG VOC 1651.



Pergolakan-pergolakan rakyat yang terjadi baik di pulau Seram, Ternate, Tidore, Ambon, Banda, Saparua bahkan hampir diseluruh kepulauan Maluku untuk menenteng VOC, berawal dari upaya penguasaan wilayah dan monopoli perdagangan yang dilakukan oleh bangsa Belanda dengan manejemen badan dagangnya (VOC). Strategi monopoli perdagangan rempah-rempah untuk menguasai wilayah dan jalur perniagaan rempah-rempah ini berawal dari peristiwa jatuhnya Konstantinopel ketangan Turki pada tahun 1453, yang mengakibatkan jalur perdagangan yang menghubungkan Asia dan Eropa terputus, sehingga mendorong orang-orang Eropa untuk mencari langsung ke daerah Maluku penghasil komoditi dagang yang bernilai tinggi di pasaran Eropa. Salah satu komoditi yang menjadi incaran terutama cengkih, pala dan fulinya. Rempah-rempah menjadi penting karena keuntungan yang didapatkan dari hasil penjualan di Eropa lebih besar, jika dibandingkan dengan, barang dagagan lainnya. Komoditi ini hanya dihasilkan di kepulauan Maluku yaitu cengkih di Maluku Utara dan Semenanjung Huamual di pulau Seram, sedangkan pala dan fulinya di kepulauan Banda.

           Tidak mengherankan bila penulis Italia Vega Vieta yang ikut berlayar dengan orang-orang Spanyol ke Maluku, menjelaskan bahwa Maluku Utara menghasilkan cengkih dan Banda penghasil pala dan fuli yang sangat mahal di Eropa. Orang Eropa awalnya datang sebagai kelompok pedagang, kemudian berhasil menjalin hubungan dengan penduduk. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya mereka melakukan berbagai cara untuk menguasai daerah-daerah strategis, baik secara ekonomis maupun politik. Portugis adalah orang Eropa pertama menginjakan kakinya di kepulauan Maluku pada tahun 1512, disusul Spanyol tahun 1521 di Maluku Utara setelah melakukan pelayaran mencari daerah penghasil rempah-rempah seperti yang telah dijelakan pada bagian awal tulisan ini. Pada tahun 1599 orang Belanda di bawah pimpinan Wijbrand van Warwijk tiba di Ambon dan menjalin kerja sama dengan Hitu, yang pada waktu itu bermusuhan dengan Portugis. Kemudian Steven van der Hagen bersama dengan rakyat Hitu pada tanggal 23 Februari 1605, berhasil menaklukan Portugis di pulau Ambon. Kehadiran Belanda di Maluku awalnya disambut oleh penduduk dengan antusias, akan tetapi kegembiraan yang dirasakan penduduk tidak berlangsurag lama, karena Belanda mulai menampakkan keinginan mereka untuk menguasai wilayah ini, dengan melakukan berbagai perjanjian-perjanjian yang membebani dan membatasi kebebasan masyarakat dalam dunia perdagangan rempah-rempah.
           Pada tahun 1599 Jacob van Heemskerk telah berhasil membuat kontrak kesepakatan dengan para pemimpin negeri di pulau Banda saat ia berangkat dari Banten menuju Pulau Ambon dan terus ke Banda untuk mencari rempah-rempah fuli dan biji pala yan sangat berharga di Eropa saat itu. Isi kontrak itu diantaranya adalah menyangkut pembelian fuli dan buah pala yang dibeli dengan harga lebih tinggi dari para pedagang yang lain. Kontrak/ kesepakatan ini kemudian diperbaharui lagi oleh Laksamana Steven van der Hagen dengan cara mengngkat sumpah diantara kedua belah pihak dengan tujuan menegahkan aturan yang telah disepakati bersama. (P.A. Loupe : 1854 : 385). Kesepaktan berikutnya dilakukan antara kedua belah pihak untuk menjaga keharmonisan antara pemimpin negeri di Banda yang dikenal sebagai “Orang Kaya” agar tidak terjadi insiden-insiden yang pernah terjadi antara masyarakat Banda dengan pihak Kompeni Belanda. Kesepakatan tersebut dilaksanakan pada tahun 1602 oleh Laksamana Wolphert Hermanszon dengan tujuan memperbahrui kembali kesepakatan atau perjanjian yang pernah dibuat sebelumnya oleh Van Heemskerk.
            Isi perjanjian itu menyangkut hal-hal sebagai berikut :
(1). Kebebasan untuk beragama tanpa ada tekanan dalam bentuk apapun kepada setia orang.
(2). Orang-orang Kompeni Belanda dilarang untuk memiliki wanita pribumi dari Banda.
(3). Kompeni Belanda dilarang masuk ke rumah penduduk tanpa isin dari pemiliknya
(4). Pihak Kompeni dilarang menghukum orang tanpa bersalah
(5). Tidak boleh ada orang yang dipaksakan untuk menyelesaikan suatu perkerrjaan yang bisa merugikan pribadinya.
(6). Orang-orang Banda siap untuk menjul fuli dan buah pala kepada pihak kompeni Belanda.
Kerjasama antara kedua belah pihak akan terus dipertahankan dan Kompeni diberikan kebebasan untuk membeli rempah-rempah secara bebasa. Orang-orang Banda tidak akan menyerang Kompeni asalkan Kompeni bersedia mengembalikan oanng-orang Banda yang melarikan diri akibat perang (Tijdschrifi vor Nederland Indie 1854 : 107). Bedasarkan perjanian di atas, maka pihak Orang kaya Banda berjanji kepada pihak Kompeni Belanda bahwa :
1.      Mereka akan mengambil sumpah dan mengakui otoritas resmi Kompeni Belanda serta keturunannya sebagai penguasa sehingga mereka selalu taat kepada Gubernur sebagai penguasa di Maluku.
2.      Mereka akan meyerahkan tanah untuk pembuatan benteng dan memberikan keluesan untuk memperoleh semua kebutuhan makan dan buah-buahan yang ada di Banda.
3.      Sesuai Pengakuan yang dibuat, maka mereka akan menjual sepersepulluh dari hasil panen pala meka kepada Kompeni Belanda
4.      Hasil tanaman mereka baik di pulau Ai maupun di pulau  Naira, tidak akan dijual kepada pedagang lain kecuali kepada Kompeni Belanda
5.      Rencana pembanguan benteng tidak ada pihak-pihak yang menghalanginya
6.      Orang-orang Banda tidak boleh memiliki peradilan sendiri sehingga harus diserahkan kepada Gubernur VOC di Maluku untuk memutuskan pekara secara bersama-sama dengan orang kaya Banda
7.      Oranng Banda berjanji dan mengambil sumpah untuk tetap patuh kepada kepemimpinan Gubernur VOC dan taat atas semua perintahnya
8.      Mereka telah berjanji dan mengambil sumpah untuk menghukum setiap orang yang secara terang-teranngan melakukan persekongkolan untuk melawan Kompeni Belanda (P.A. Loupe 1854 : 385-386).
            Menurut P.A. Loupe bahwa perjanjian sering dilakukan antara pihak VOC degan para pemimpin di pulau Banda karena selam 12 tahun yaitu dari 1599-1621 mereka belum berhasil menguasai pulau Banda yang kaya akan fuli dan buah pala. Perjanjian berikutnya yang dilakukan oleh pihak VOC dengan para penguasa pribumi di Maluku adalah dengan pimpinan negeri Hitu di pulau Ambon jazirah Leihitu pada 7 Februari 1605. Isi perjanjian yang disepakati oleh pihak VOC dengan para pimpinan Hitu adalah sebagai berikut:
1.      Hitu akan membantu Komprni Belanda dan tidak menyerang orang-orang Belanda (VOC)
2.      Masing-masing pihak akan berpegang pada agama serta menjaga keharmonisan antara satu sama lainnya
3.      Gubernur Kompeni Belanda akan menghukum orang Belanda yang melakukan kejahatan terhadap orang-orang Hitu
4.      Saling membantu antara Uli Siwa dan Uli Lima dalam menyelesaikan suatu pekerjaan terutama untuk kepentingan VOC
5.      Cengkih milik orang-orang Hitu hanya dijual untuk Kompeni Belanda (VOC)
           Tanggal 15 Februari 1605 dilakukan perjanjian dengan raja negeri Oma di pulau Haruku yang telah berhasil menandatangani perjanjian pendek yang berisi 3 poin utama yaitu;
1.      Masyarakat Negeri Oma mengakui dan taat kepada kepemimpinan Kompeni Belanda.
2.      Masyarakat Negeri Oma  mengakui tata kelola perdagangan dan pemerintahan yang dilakukan oleh VOC.
3.      Masyarakat Negeri Oma siap memberikan bantuan tenaga bila diminta oleh VOC atau Kompni Belanda   (P.A. Loupe 1854 : 385-386, R.Z. Leirissa : 1975 : 23-33).
Rupanya pihak Kompeni Belanda telah mempelajari kondisi politik masyarakat Maluku  yang sementara berperang melawan Portugis saat itu, sehingga satrategi yang mereka pakai untuk melakukan berbagai perjanjian dengan penguasa lokal bertujuan untuk mendapatkan dukungan. Sebaliknya pihak Kompeni Belanda berharap bahwa dengan adanya kontrak-kontrak politik yang dilakukan akan berdampak positif kepada mereka terutama mendapat sekutu yang banyak dari Maluku untuk mengusir orang-orang Portugis karena takut disaingi dalam dunia perdagangan rempah-rempah cengkih dan pala saat itu.
Perjanjian-perjanjian yang dilakukan oleh pihak VOC dengan tujuan mengikat penguasa lokal sehingga mereka dengan leluasa dapat menjalankan misi atau tujuan mereka yaitu monopoli perniagaan cengkih di Maluku. Kontrak-kontrak baru atau perjanjian-perjanjian dengan penguasa di Maluku Utara dalam hal ini Sultan Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan juga dibuat untuk menguasai perdagangan cengkih yang sangat ramai di daerah itu dan pada akhirnya menimbulkan pemberontakan-pemberontakan rakyat melawan Kompeni. Mengenai pemberontakan di Maluku Utara, lihat I.O. Nanulaitta 1966, Meliterisme Ambon Menentang Kolonialonialsme Sebagai Suatu Persoalan Politik, Sosial Ekonomi. Baca juga R.Z Leirissa 1975 : 23-33, Maluku Dalam Perjuangan Nasional Indonesia.
Demer dalam memorinya yang disampaikan kepada Gubernur Jenderal van Lijn di Batavia dan dewan Hindia Belanda seperti yang termuat dalam sumber (J. E Heeres 1897 : 511), menjelaskan tentang berbagai peristiwa yang telah ia jalankan selama masa kepemimpinnanya di Maluku, dan dari memori ini banyak persoalan menyangkut kondisi sosial, ekonomi dan politik di daerah Maluku diketahui penuh dengan perubahan akibat kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pihak Kompeni Belanda. Yang menarik dari memori ini adalah banyak persoalan politik, ekonomi dan sosial yang timbul setelah kedatangan VOC dan upaya pemimpin-pemimpinya untuk menegahkan supermasih kekuasaan di daerah Maluku terutama pulau Ambon, Seram, dan Lease. Dalam memorinya Demmer mengatakan bahwa kompeni menjadi kekuatan terbesar di Ambon dan sekitarnya (Seram, Buru, Saparua  Haruku Nusalaut dan kepulauan Maluku lainnya). Ia menjelaskan pula mengenai pengaruh orang-orang Belanda untuk monopoli cengkeh dan ternyata monopoli yang dijalankan pada saat itu membuat kepulauan Maluku menjadi begitu penting bagi kompeni (VOC), sehingga dengan sekuat tenaga maupun berbagai modus yang dilakukan, pada akhirnya mereka berhasil menaklukan wilayah Maluku sebagai tujuan akhir dari strategi penguasaan yang telah direncanakan secara matang
Untuk misi ini dapat tercapai dengan baik, maka Demmer melakukan pengusiran besar-besaran dari tempat tinggal para penduduk pribumi di pedalaman dan menunjukan tempat baru bagi mereka di daerah pesisir dengan tujuan dapat mengontrol masyarakat yang telah ditaklukan secara periodik. Peristiwa ini telah memporak porandahkan kehidupan masyarakat Maluku dan telah menciptakan penderitaaan yang berkepanjangan bagi penduduk pribumi. Penderitaan yang dialami saat itu bukan saja soal fisik tetapi secara sikologi, karena pihak VOC telah menciptakan suasana traomatik berkepanjangan dikalangan penduduk pribumi. Penduduk telah dipksa meninggalkan kampung halaman mereka di gunung-gunung yang telah ditempati oleh para leluhurnnya bertahun-tahun dan merupakan aset yang sangat berharga sebagai sumber penghidupan mereka karena menghasilkan sumber daya alam yang kaya untuk kelanjutan hidup mereka.  Sistem ekonomi dan perdagangan yang telah mereka bangun dengan pola barter antara pedagan nusantara ikut runtuh, dan berubah drastis akibat kebijakan VOC. Dengan sekejap pendatang baru (VOC) dengan pimpinannya Demmer yang terkenal kejam dan suka mengatur itu, telah berhasil menguasai beberapa daerah di Maluku terutama pulau Ambon dan Lease.
Demmer juga berpandangan bahwa daerah yang telah dikuasai melalui suatu perlawanan, bisa dianggap sebagai daerah taklukan VOC, sehingga daerah tersebut dapat diperintah sesukanya. Semasa kepemipmpinannya Ia juga menciptakan perubahan dalam bidang sosial dan politik lokal terutama untuk mematahkan kekuatan penguasa lokal dalam hal ini Upu Latu (Raja) dan semua perangkat pemerintahannya termasuk mengurangi kekuatan kesultanan Ternate. Menurut Demmer bahwa semua kontrak politik yang telah dilakukan antara pihak VOC dengan penguasa lokan tidak boleh dilanggar dan apabila terjadi pelanggaran maka akan dihukum seberat-beratnya. Masyarakat juga terikat dengan kerja wajib yang merupakan salah satu bentuk kerja rodi terutama diproyek-proyek perbentengan dan kerja kora-kora (perahu angkutan laut) maupun proyek lain milik VOC. Selain itu strategi untuk melakukan kegiatan penginjilan sebagai bagian dari upaya kristenisasi dan juga upaya peyelenggaraan pendidikan bagi penduduk pribumi (J. Heeres, 1897 : 512).
Dua faktor utama yaitu penyiaran agama Kristen dan pengembangan pendidikan merupakaan langkah penting bagi Demmer di daerah Maluku sehingga ada sisi positif yang tidak bisa diabaikan dari kebijakannya karena turut mempengaruhi pertumbuhan kehidipan sosial politik yang berkembang di daerah Maluku saat itu. Disisi yang lain jalinan kerjasama antara para pedagang dari Makasar, Melayu, Jawa, Arab dan Cina merasa terganggu oleh kebijakan VOC yang mebuat segala peraturan atau perjanjian dalam bentuk ikatan dengan para penguasa lokal untuk perdagangan rempah-rempah yang sebelumnya tidak pernah ada. Perdagangan biasanya dilakukan secara bebas antara pedagang dan penduduk pribumi di kepulauan Maluku terutama di Huamual. Selama 25 tahun semenjak VOC menegahkan supermasihnya di Maluku, kebebasan dalam sistem perdagangan rempah-rempah cengkih dan pala yang semula tertata baik dan berlangsung dalam iklim perniagaan sehat tanpa tekakanan apaun, tiba-tiba berubah akibat kontrak-kontrak politik yang dibuat oleh VOC dengan sasaran monopoli rempah-rempah disatu pihak (J.E.Heeres, 1897 : 515).
Kondisi seperti di atas tidak dapat dipertahankan oleh para petani maupun para pedagang karena mereka adalah pihak yang dirugikan akibat perjanjian atau kontrak perdagangan yang bertujuan melumpuhkan aktivitas pedagang lokal dari berbagai Nusantara maupun beberapa dari mancanegara seperti Portugis, Inggris dan Jepang. Langkah bijak yang ditempuh oleh petani maupun para pedagang di semenanjung Huamual saat itu adalah mengelabui pihak VOC, dengan cara melakukan aktivitas perdagangan rempah-rempah secara sembunyi sehingga tidak diketahui oleh perwakilan Kompeni Belanda di Huamual. Namun cara transaksi seperti itu dianggap oleh petani maupun pihak pembeli sangat merugikan mereka sehingga Para pedagang dari Makasar, Jawa, Melayu dan dari berbagai penjuru daerah di Nusantara maupun Cina, Arab, Jepang, dan Eropa (Inggris) secara terang-terangan kembali melakukan transaksi dagang dengan para petani cengkih tanpa menghiraukan pihak Kompeni Belanda. Mereka juga berani membeli cengkih dengan harga yang lebih tinggi sehingga pemilik-pemilik kebun cengkih tidak lagi patuh terhadap kontrak yang dibuat antara pihak Kompeni Belanda (VOC) dengan Sultan maupun pemimpin-pemimpin negeri, karena harga beli yang mereka tetapkan terlalu murah bila dibandingkan dengan pedagang lainnya. Yang menarik dalam kasus ini adalah kebijakan Gimelaha Luhu (wakil Sultan) dan para pembantunya di negeri Luhu, Liaela, Kambelo dan beberapa pemimpin negeri di semenanjung Huamual, seperti Buano, Kelang dan Manipa turut memberikan dukungan kepada para pedagang lain untuk membeli cengkih secara terbuka sehingga menimbulkan pertentangan baik antara Sultan dengan Gimelaha Leliato di Luhu selaku pembantunya di Huamual, maupun antara Gimelaha Leliato dengan pihak Kompeni Belanda (VOC). (J.E.Heeres 1897: 515). Kebijakan Gimelaha Leliato dengan beberapa pemimpin negeri di Huamual turut memperuncing situasi politik saat itu, karena sebelumnya telah terjadi ketegangan antara berbagai pihak yang terlibat dalam urusan perdagangan Cengkih.


SEJARAH PERTEMPURAN MASYARAKAT MANIPA MENENTANG VOC 1651.

Sebelum masyarakat Asaude dan Kelang, Buano dan Hatuputih ke pulau Manipa, terjadi pergolakan antara rakyat Huamual dengan VOC pergolakan ini terjadi karena VOC melakukan invansi ke daerah Huamual, invansi ke Huamual disebabkan karena masyarakat Huamual tidak mau menjual cengkih kepada VOC padahal sebelumnya telah terjadi perjanjian antara VOC dengan masyarakat di wilayah kekuasaan VOC di Ambon yang meliputi, pulau Ambon, Seram, Lease, Buru, Ambalauw, Kelang, Buano, Manipa, Seram Kecil dan Seram Laut. Perjanjian ini dibuat pada tanggal 29 Agustus 1609 bahwa cengkih harus dijual kepada VOC Namun masyarakat di Huamual menjualnya kepada pedagang Inggris, Jepang dan pedagang Nusantara seperti Jawa dan Makassar dikarenakan harga yang dibayar oleh VOC terlalu murah, akibatnya pada 14 Mei 1625 Herman Van der Speult dan Jan van Gorcum menyerang Huamual dengan satu armada Hongi terdiri dari 5 buah kapal 26 kora-kora bersama 900 prajurit bangsa kulit putih dan 2000 orang Ambon dari Leitimur dan pulau-pulau Lease peretempuran ini berlangsung selama enam Minggu akibatnya masyarakat Huamual yang dipimpin oleh Gimalaha Leilato mengalami kekalahan (Maryam R.L Lestaluhu 1988: 122-123).
Setelah pergantian Gubernur Gijsels dengan  Arnold de Vlaming masyarakat Huamual mulai menyusun taktik perang glirya, salah satunya masyarakat yang berasal dari Asaude, mereka ke pulau Manipa untuk melakukan pertempuran melawan VOC pada tahun 1651 dibawah pimpinan Gimelaha Majira dan Laksamana Laut Saidi terhadap loji-loji Kompeni Belanda di Huamual yang meliputi pulau Manipa, Kelang dan Buano. Penyerangan ini dilakukan pada saat Gubernur Arnold De Vlaming van Oudshoorn sedang melakukan perjalanan ke Ternate untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi oleh V.O.C di daerah tersebut. Peristiwa penyerangan di Manipa telah menyebabkan jatuh korban yang banyak dipihak Kompeni Belanda. Pulau Manipa semenjak pemerintahan Gubernur Gerard Demmer, Kompeni Belanda telah membangun sebuah benteng kecil dan ditempatkan seorang Onderkoopman sebagai pemimpin ditempaat ini. Namun berdasarkan beberapa sumber Kolonial diperoleh keterangan bahwa sebelum ditempatkan seorang Onderkopman untuk mengurus pulau ini, pada tahun 1651 telah ditempatkan seorang pegawai Kompeni Belanda dengan tugas mengawasi perdagangan cengkih di pulau Manipa.
Pimpinan Kompeni ini adalah Sersan Laurens Sipkens yang pernah menjadi korban pembantaian yang dilakukan oleh penduduk pulau Manipa yang memberontak karena menurut mereka ia telah melakukan pelarangan untuk transaksi perniagan cengkih dengan para pedagang lain yang datang di Manipa dan sekitarnya. Mereka membakar kubu pertahanan dan membunuh Sersan Laurens Sipkens dengan tiga anak kecilnya. Istri Laurens Sipkens, Senora Catharina, ditangkap dan dibawa ke Buru sebagai tawanan perang, tetapi ia berhasil meloloskan dirinya dan menyampaikan laporan tentang serangan atas pertahanan Kompeni Belanda di Manipa sedangkan beberapa orang yang lain akhirnya disiksa dan dibunuh. Diduga sebelum ada Onderkoopman ditugaskan di pulau ini, ada sebuah benteng kecil, berupa barikade kayu atau sejenisnya yang pada masa Gubernur Simon Cos tahun 1657 digantikan dengan sebuah benteng batu bernilai tempur tinggi yang diberi nama Wantrouw.

Description: https://scontent-sin1-1.xx.fbcdn.net/hphotos-xfa1/v/t1.0-0/25400_10150177882635235_3009119_n.jpg?efg=eyJpIjoiYiJ9&oh=b96a305b61c1f26035c59207d15199bd&oe=561F0685Description: https://scontent-sin1-1.xx.fbcdn.net/hphotos-xfa1/v/t1.0-0/25400_10150177882630235_1740595_n.jpg?efg=eyJpIjoiYiJ9&oh=ff7cff2410d1cdf7218e5ff70db35cb5&oe=55E87023
Gambar Benteng Wantrouw di Tomalehu Timur.
Onderkoopman pertama yang ditempatkan di pulau Manipa adalah Johan Comans dengan tugas khususnya untuk menjaga pulau ini dari para Canga (bajak laut) yang sering bermarkas di sana. Onderkoopman Johan Comans menikah dengan adik perempuan dari Kapten Verheiden yang ikut bersama suaminya tinggal di Manipa. Tugas Onderkoopman ini selain menjaga aktivitas bajak laut, juga turut mengawasi agar tidak terjadi transaksi penjualan senjata dan amunisi kepada rakyat yang dipasok oleh para pedagang lain dari luar daerah. Pada masa ia bertugas banyak terjadi penebangan pohon-pohon cengkih yang dilakukan oleh Komepeni Belanda dan ia tetap menjaga pulau ini selama beberapa tahun dan berakhir pada tahun 1656. Ia diganti oleh Onderkoopman Gerard Bonser yang nantinya mengalami peristiwa keji karana ia dan anak istrinya terbunuh di pulau Manipa yang dilakukan oleh penduduk bersama pasukan bantuan dari berbagai negeri di Huamual dan pulau-pulau sekitarnya yang dimotori oleh Gimelaha Majira dan Kapitan Laut Saidi.
Secara berturut-turut beberapa peristiwa peyerangan yang dilakukan oleh kedua piminan karismatik ini terhadap Kompeni Belanda di pulau Manipa dan pulau-pulau kecil lainnya di wilayah Huamual Seram Barat, benar-benar telah membuat pihak Kompeni Belanda kewalahan. Peristiwa keji yang pernah dialami oleh Onderkopman Gerard Bonser bersama keluarga ini dikisahkan oleh Van de Wall sebagai tahun bencana bagi Kompeni Belanda dimana semua rakyat disetiap pulau berusaha melepaskan diri dari kekuasaan Kompeni Belanda dan terjadi pemberontakan dari suatu pulau ke pulau yang lain sehingga mengakibatkan pembunuhan terhadap Onderkoopman Gerard Bonser bersama istri dan anak-anaknya. Gerard Bonser yang belum memahami karakter masyarakat di pulau itu mengalami penyerangan dan pembantaian yang sangat kejam akibat pembalasan yang dilakukan oleh rakyat di Manipa karena banyak pohon cengkih milik petani ditebang oleh Kompeni Belanda.
Pada awalnya dengan taktik berunding untuk membahas sebuah surat tuntutan dari rakyat di pulau Manipa yang ingin berdamai dengan pihak Kompeni, maka Onderkoopman Gerard Bonser keluar dari benteng untuk memenuhi permintaan rakyat Manipa. Pada saat itulah pasukan perang yang telah siap untuk menyerang masuk ke dalam benteng dan membunuh Onderkoopman Gerard Bonser yang tidak mengetahui rencana penyerangan itu (Van de Wall 1928: 222)

bersambung .... tungggu kelanjutanya..



[1]  Para pemimpin negeri-negeri di kepulauan Banda yang memiliki peranan besar dalam sistem politik pemerintahan tradisional yang sebelum kedatangan bangsa Barat, maupun Arab, ke Maluku. Para orang  kaya telah  memiliki kekuasaan atas wilayah yang telah dibagi berdasarkan dua aliansi politik besar yaitu Orlima dan Orsiwa (pembaian Lima dan Sembilan). Dua kekuatan aliansi politik lokal ini sama-sama memberikan dinamika positif  terhadap perkembangan masyarakat kepulauan Banda baik sosial, politik, ekonomi serta menjaga keharmonisan hidup antara sesama, dan pernah berkembang menjadi sebuah pusat perniagaan rempah-rempah karena diidukung oleh teknologi trsdisional pembuatan perahu sebagai unsur dominan dari ciri budaya maritim yang berkembang saat itu.

1 komentar: