Selasa, 10 Mei 2016

PENGIBARAN BENDERA MERAH PUTIH PERTAMA DI PULAU AMBON



1.    Perlawanan Masyarakat Maluku Melawan Kolonialisme
Perlawanan pertama masyarakat Maluku dilakukan dengan mengadakan perlawawan kepada Portugis, Perlawanan Masyarakat Maluku melawan Portugis terjadi di Maluku Utara pada 28 Februari 1570 saat de Mesquita pemimpin Portugis di Ternate menyuruh membunuh Sultan Hairun pada saa itu juga anak dari sultan Hairun yaitu  Baab Ullah mengumumkan perang total kepada Portugis. Benteng Portugis di Ternate dikepung selama lima tahun (1570-1575) akhirnya Portugis menyerah dan meninggalkan Ternate menuju Ambon, Malaka dan sebagian ke Tidore. Portugis juga juga diserang oleh Hitu dan benteng Portugis dihancurkan, kekalahan Portugis tersebut memaksa Portugis mundur ke jazirah Leitimur dan mendirikan benteng baru di Urtetu dari benteng ini mereka melakukan offensif dan menyerang penduduk Islam perang hebat terjadi juga dengan masyarakat Hatuhaha pada tahun 1571. Sebaliknya Sultan baab Ullah mengirim armada dibawah pimpinan Robohongi untuk menyerang Portugis orang-orang Portugis bertahan dalam benteng mereka yang baru di Hunipopu dan dibantu oleh masyarakat Kristen di sekitarnnya setelah mereka diusir sama sekali oleh Baab Ullah tahun 1575 mereka ke Ambon dan memperkuat benteng ini. Di Ambon Portugis masih tetap bertahan sampai tahun 1605 karena pada tahun ini mereka menyerah kepada Belanda atas bantuan Hitu (J.A. Pattikayhatu, 1993: 65-66).
Selain pertempuran melawan Portugis masyarakat Maluku juga melakukan pertempuran melawan kolonialisme Belanda akibat monopoli perdagangan yang dilakukan oleh (V.O.C) tersebut maka timbul perlawanan oleh rakyat Maluku di Pulau banda pada tahun 1609 armada V.O.C dibawah pimpinan Verheoff dan Wittered mencoba menduduki kepulauan Banda namun usaha mereka gagal karena masyarakat Banda berhasil membunuh Verheoff. Ketika Jan Pieterszoon Coen menjadi gubernur jendral V.O.C pada tahun 1619 maka penduduk Banda ditaklukan oleh V.O.C. timbul perlawanan dari masyarakat Banda namun karena persenjataan yang tidak seimbang membuat masyarakat Banda mengalami kekalahan penduduk Banda yang masih hidup mereka kemudian menyingkir ke pulau-pulau di sekitarnya yaitu di Pulau Kei, Gorom, Hatuhaha dan sebagian lainnya ke Makassar. Ketika rakyat Banda mengalami kekalahan semangat masyarakat Maluku tidak padam tetapi semangat masyarakat Maluku terus berkobar (Pattikayhatu, 1993: 67).
Perlawanan masyarakat Maluku melawan V.O.C dibawah pimpinan Kakiali dengan pusatnya di benteng Wawani perlawanan dimulai pada tahun 1634-1643 yang disebut Perang Hitu I. Namun Kakiali berhasil ditangkap oleh Gubernur Deutecom dengan tipu muslihat dan dibuang ke Batavia. Perlawanan tidak berhenti malah pertempuran semakin meluas penduduk Pulau Buru dan Ambalau menyerang benteng V.O.C yang berada di sana. Demikian pula penduduk Pulau Haruku dan Saparua bahkan sejak tahun 1636 penduduk negeri-negeri Kristen di jazirah Leitimur, pulau Ambon bangkit melawan V.O.C. Pimpinan perang dipimpin oleh panglima Hitu Pattiwani dibantu oleh Gimalaha Luhu dan Gimalaha Leilato dari benteng Leisela di Hoamual (Pattikayhatu, 1993: 68).
Pada tanggal 16 Agustus 1643 Fransisco de Toira salah satu kenalan Kakiali yang berasal dari Spanyol berhasil membunuh Kakiali ketika disuap oleh pemerintah V.O.C. setelah Kakiali meninggal markas mereka dipindahkan ke bukit Kapahaha benteng tersebut dikawal oleh kapitan Pattiwani wakil dari Kakiali. Perang Hitu II dimulai sejak tahun 1643 dibawah pimpinan Tulukabessy seorang pejuang dari Tanah Hitumessing, Tulukabessy adalah kapitan yang diberi gelar Tubanbesi. Pada tahun 1644 Demmar menyerang benteng Kapahaha namun digagalkan oleh rakyat Hitu, V.OC. Kemudian memblokade Seram selatan sebagai sumber penyediaan bahan makanan dalam usaha untuk mematahkan blokade tersebut Pattiwani gugur dalam pertempuran laut yang hebat. Setelah itu penyerangan terhadap benteng Kapahaha terus dilancarkan Demmar kemudian melakukan penangkapan terhadap pimpinan-pimpinan masyarakat Hitu dan dijadikan sandera untuk Tulukabessy. Akibatnya Tulukabessy menyerah setelah benteng Kapahaha berhasil ditaklukan Tulukabessy kemudian dihukum gantung di halaman benteng Victoria di kota Ambon sebagai pahlawan Hitu yang besar (J.A. Pattikayhatu, 1993: 69).
Peperangan terus berlanjut di wilayah lain di Maluku di antaranya di Huamual, pada tahun 1643 pertempuran terus berkobar sampai membuat V.O.C mengirimkan Arnold de Vlaming. Vlaming mulai menyerang Huamual pada tahun 1652, perjuangan masyarakat Huamual mulai melemah ketika benteng Asahude jatu ke tangan V.O.C semua pejuang dan penguasa ditangkap dan dibuang ke Jawa  ( J.A. Pattikayhatu 1993: 70-71).
Pada tahun 1796 Inggris dibawah laksamana Rainer merebut dan menduduki Ambon. Pada tahun 1799 V.O.C dibubarkan dan Indonesia langsung diperintah oleh pemerintah Belanda (Republik Bataaf) berdasarkan persetujuan perdamaian antara Inggris dan Belanda pada tahun 1802 Ambon diserahkan kembali kepada Belanda. Sejak tahun 1800 Inggris terus memblokade kepulauan Indonesia dan menyerang daerah daerah di luar Pulau Jawa yang mempunyai kedaudukan penting. Ambon, Banda dan Ternate diserang. Pada tahun 1810 Inggris kembali menyerang dan menduduki Ambon sewaktu berlangsung peperangan dengan Napoleon di Eropa. Pertahanan Belanda di Ambon yang dipimpin oleh seorang kolonel Prancis yaitu Filz menyerah kepada Inggris. Berdasarkan kapitulasi tungtang pada tanggal 18 September 1811, Indonesia secara resmi menjadi jajahan Inggris. Kepualuan Maluku dikuasai Inggris dan di sini ditetapkan seorang residen jendral yaitu Bryant Martin selama hampir enam tahun (1811-1817). Maluku mengalami penjajahan Inggris pada tahun 1815 berdasarkan kongres Wina maka Inggris menyerahkan Indonesia kembali kepada Belanda. Pada tanggal 19 Agustus 1816 Johan Fendal yang mewakili pemerintah Inggris menyerahkan Indonesia kepada Belanda yang diterima oleh para komisaris jendral yang mewakili pemerintah Belanda di Indonesia. Ketika Belanda telah menguasai Indonesia maka masyarakat Maluku mulai menyusun strategi untuk menyerang Belanda tepatnya pada tanggal 15 Mei 1817 pagi maka penduduk melakukan serangan secara besar-besaran terhadap benteng Duurstede di kota Saparua residen Van den Breng dan semua orang Belanda mati terbunuh sedangkan yang hidup hanyalah anak kecil dari residen yang diselamatkan oleh Kapitan Pattimura dan pasukannya (1993: 73-76)
Jadi keterangan di atas berdasarkan bukti-bukti sejarah secara tertulis menunjukan bahwa masyarakat Maluku telah berjuang keras dalam mengusir penjajahan dari seluruh kepulauan Maluku.
2.    Gerakan Perjuangan Nasional
Pergerakan Nasional adalah usaha untuk menentukan nasib sendiri, maka cita-cita yang akan dicapai menjadi tanggung jawab bersama atas dasar senasib dan sepenanggungan. Oleh karena itu, harus ada persatuan dan kesatuan melawan penjajah untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan perlu adanya organisasi yang bersifat nasional, hal ini dilakukan setelah adanya golongan  “ Elit Intelektual ”karena golongan yang memiliki wawasan yang luas, akibat penerapan sistim pendidikan sistem Barat terhadap pelajar bumi putera, untuk masuk Stovia dan pelaksanaan politik etis. Oleh karena itu, setelah tahun 1900 baru muncul berbagai Organisasi Pergerakan Nasional, diawali oleh perkumpulan Budi Utomo berdiri tanggal 20 Mei 1908, Sarekat Islam 25 Desember 1913 dan Indische Partij 25 Desember 1912. Pergerakan  nasional antara 1920-1942. Gerakan ini mempergunakan cara-cara perjuangan secara modern yang dipelopori golongan intelektual. Dalam hubungan dengan berdirinya organisasi-organisasi politik itu, orang Maluku juga mulai sadar terutama golongan intelek yang berada di pulau Jawa Pada tanggal 9 Mei 1920 seorang tokoh  terkenal yaitu Alexander Jacob Patty mendirikan “Sarekat Ambon” di Semarang. Inilah organisasi pertama dari orang Ambon yang bersifat politik dengan tujuan untuk memajukan penduduk Ambon. Perjuangan Sarekat Ambon ini berhasil mendesak pemerintahan Belanda, sehingga pada tahun 1921 didirikan “Ambon Raad”. Setapak demi setapak Alexander Jacob Patty membawa sarekat Ambon lebih mendekati ide-ide nasionalisme Indonesia, seperti “Indische Partij”. Ia terus meyakinkan dan berusaha mempersatukan ide-ide yang berbeda dari tokoh-tokoh pendiri Sarekat Ambon seperti dr. Kayadu, dr. Siahaya, dr. Wesplat, P.R. de Quelju, J.M.M. Hatharia dan A.E. Kayadu. Sarekat Ambon dalam perkembangannya semakin menjadi revolusioner dan menganut paham radikal terhadap pemerintahan Belanda. Pada tahun 1922 Sarekat Ambon masuk “Radicale Concentralie”. Sifat-sifat radikal dan revolusioner A.J. Patty ditentang oleh Ambonsche Studiefonds. Sarekat Ambon terus disiarkan melalui majalah mena muria dan ina tuni (Pattikayhatu,1993 : 82 ). Selain itu terdapat beberapa organisasi lainnya di Ambon seperti PGHB, Nusa Ina, Panji Nederland, Ambonsch Studiefond, Christiljik Amboneshe, Studiefonds dan juga Ambon Raad yang didirikan pada tahun 1921.
3.    Era Kemerdekaan
Era Kemerdekaan dimulai ketika Negara Jepang dibom oleh sektu pada tanggal 6 dan 9 tanggal Agustus 1945. Saat itu Jepang sedang menduduki Indonesia namun ketika terjadi peristiwa pengeboman yang dijatuhkan di dua kota besar yaitu Hiroshima dan Nagasaki maka pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada sekutu. Keadaan ini dimanfaatkan oleh rakyat Indonesia untuk segerah memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia menyatakan diri sebagai bangsa yang merdeka. Indonesia sudah menyatakan dirinya sebagai Negara merdeka. Namun hal itu bukan berarti kadaan dalam negeri menjadi tenang kemerdekaan itu harus dipertahankan dari pihak asing. Untuk mempertahankan kemerdekaan pemerintahan Indonesia menempuh dua cara yaitu perjuangan diplomasi dan perjuangan bersenjata, perjuangan diplomasi melahirkan beberapa perjanjian sedangkan perjuangan bersenjata melahirkan berbagai pertempuran. Pada masa awal kemerdekaan, pemerintahan Indonesia menghadapi ancaman bersenjata dari pihak asing yakni Inggris dan Belanda beserta sekutunya. Akibatnya hampir di setiap kota atau daerah meletus pertempuran melawan Inggris dan Belanda.
Setelah Jepang menyerah kepada sekutu, maka Negara anggota sekutu yang mendapatkan tugas untuk masuk ke Indonesia antara lain adalah tentara kerajaan Inggris yang tergabung dealam komando Asia Tenggara. (Sout East Asian Command atau SEAC) di bawah pimpinan Laksamana Lord Louis Mombatten untuk Indonesia bagian barat, dan pasukan South West Pasific Command untuk wilayah Indonesia bagian timur (SWPC). Kedatangan SWPC di Ambon mereka juga mengikut sertakan NICA kemudian mereka menjalankan pemerintahan masing-masing dengan seorang Chief Conica yang menjabat sebagai residen untuk Maluku Utara dan Maluku Selatan untuk menjadikan Maluku sebagai negara boneka menurut konsep Belanda (J.A. Pattikayhatu, 1993: 94). Namun masyarakat Maluku terus berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan dimulai dengan melakukan “Ekspedisi Merah Putih ke Daerah Maluku” ekspedisi ini dari Pulau Jawa ke daerah Maluku tepatnya di Pulau Buru tepatnya di kota Namlea dengan dua kapal Angkatan Laut Indonesia yaitu Sindoro dan Semeru, di bawah komandan Letnan Ibrahim dan Letnan Mulyadi turut pula anak Maluku yang ikut bersama mereka yaitu Bram Matulessy. Setelah tiba di Namela mereka berhasil menanamkan sangsaka Merah Putih di Pulau Buru pada tahun1946, setelah itu pasukan ekspedisi Merah Putih mulai mengkoordinir masyarakat di Pulau Buru untuk melakukan pertempuran melawan Belanda di bawah pimpinan Adam Pattisahusiwa dan kawan-kawannya namun banyak dari mereka yang ditangkap oleh KNIL dan di penjarakan di Ambon (Pattikayhatu 1993: 95). Berita kemerdekaan tersiar sampai ke Ambon maka E.M. Pupella dan Ot. Pattimaipau mengorganisasikan para pemuda untuk mendirikan Partai Indonesia Merdeka (PIM) banyak pemuda suku Ambon yang beragama Islam masuk ke dalam oraganisasi PIM dan berjuang bersama-sama pemuda Kristen di dalamnya untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
4.    Penrjuangan Rakyat Maluku Mempertahankan Kemerdekaan
Dalam mempertahankan kemerdekaan, di Maluku rakyat bangkit menyusun kekuatan untuk menghadapi Belanda yang telah menyusun pemerintahannya, maka para tokoh masyarakat dan tokoh-tokoh pemuda segerah mengambil inisiatif di kota Ambon mereka membentuk organisasi pejuang yang dipelopori oleh Dr. Sudibyo, Rahyat, E.U. Pupella, Paul Maitimu, Basuki, Wim Reawaru, dan Hamid Bin Hamid. Para tokoh ini mulai mengadakan rapat pertama yang dilakukan di rumah Dr. Sudibyo, Jl. Urimessing (sekarang jalan di Penogoro) kota Ambon rapat tersebut dipimpin oleh Dr. Sudibyo selain itu juga dihadiri oleh pemuka-pemuka masyarakat, anggota-anggota KNIL, HEIHO dan SEINEDAN antara lain : Surahardikusuma, Abubakar Galasia Tuharea, dari KNIL, M.Q. Maruapey dari HEIHO dan Suyono dari Polisi Belanda rapat berhasil membentuk Pemuda Pembela Indonesia (PPI) di bawa pimpinan Paul Maitimu dan Sutarto, sedangakan bekas KNIL, HEIHO para pemuda dan nelayan berhasil membentuk Barisan Pembela Indonesia (BPI) dipimpin oleh M.Q. Marwapey dalam perkembangannya BPI berubah nama menjadi Pasukan Terpedam (PT) pada waktu yang sama di Ternate ibu kota Maluku Utara, berhasil membentuk organisasi pejuang bernama Persatuan Indonesia (PI) dipimpin oleh AM. Ali Kamah, Dr. Asam Susari dan Arnold Manuhutu. Di Tual Maluku Utara dibentuk Pasukan Terpendam dibawah pimpinan Kuning Renwarin, kemudian di Saumlaki dibentuk Gerakan Sabotase Terhadap Belanda, dibawah pimpinan Maryadi, dimana salah satu anggotanya bernama Petrus Sayoga alias Go Kiem Peng. Stelah organisasi-organisasi pejuang dibentuk maka disusunlah gerakan-gerakan perlawanan terhadap Belanda maka pada akhir bulan Desember 1945 Barisan Pembela Indonesia (BPI) mulai menyusun kekuatan untuk mengadakan penyerbuan terhadap pasukan Belanda di benteng Victoria, Tangsi Batu Merah serta tempat lainnya di kota Ambon yang diduduki Belanda. Namun gerakan ini gagal karena lebih dahulu diketahui oleh Belanda atas penghianatan yang dilakukan oleh kelompok yang dipimpin oleh Siswo yang mendahului yang mendahului Barisan Pembela Indonesia (BPI) namun anggota BPI berhasi meloloskan diri dibawah pimpinan Pual Maitimu dan Dr. Sutarto yang memiliki akar yang kuat karena mendapat dukungan dari kaum nasionalis, namun mereka tidak dapat bergerak bebas di tengah masyarakat secara leluasa. Mereka menghadapi rintangan yang cukup berat, karena selalu diawasi oleh polisi Belanda, hingga (PBI) hanya bergerak secara illegal, dengan cara melakukan propaganda terhadap masyarakat tentang tentang perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Disamping para pemuda yang tetap tinggal di Maluku terutama anggota-anggota yang tetap tinggal di Maluku terutama anggota-anggota dari organisasi PPI melakukan perjuangan dalam Partai Indonesia Merdeka (PIM)  dibawah pimpinan E.U Pupella serta kawan-kawannya melalui partai Indonesia Merdeka yang diwujudkan dengan rapat-rapat atau pertemuan-pertemuan yang bersifat politik dengan tujuan untuk menyebarkan dan menggugah rasa harga diri, sebagai Bangsa yang sudah merdeka terlepas dari belunggu penjajahan (Arsip Hitumessing, Sekapur Sirih)
5.    Seputar Peristiwa Penaikan Bendera Merah Putih di Pulau Ambon
Setelah peristiwa proklamasi wilayah Maluku telah datangi oleh para pejuang Kemerdekaan Republik Indonesia yang datang dari Jawa dan daerah-daerah lainnya. Para pejuang tersebut menggabungkan diri dengan para pemuda Maluku mereka membentuk Partai Indonesia Merdeka (PIM) yang telah dijelaskan sebelumnya Partai Indonesia Merdeka. Di sisi lain ada sebuah partai yang diberi nama Partai Timur Besar dibawah pimpinan para pecinta kolonial yang kemudian menggunakan kesempatan membentuk Negara sendiri yang diberi nama Republik Maluku Selatan (RMS) yang dipimpin Mr. Soumokil dalam pembentukan Negara boneka tersebut (RMS) mulai bekerja sama dengan pemerintah kolonial Belanda dan memanfaatkan tenaga baret merah, baret hijau dan KNIL yang masih aktif ditarik menjadi tentara RMS. Situasi dan kondisi yang sangat membahayakan maka para pemuda PIM yang berada di pesisir jazirah Leihitu dan sekitarnya menyusun kekuatan dibawah pimpinan Wim Reawaru, E.U. Pupella, Hamid bin Hamid, J. Palemonia, Ahmad Bahasoan, Abdul Wahab Latukau, Abdul Umar Maruapey Yusup Ambon dll. Anggota (PIM) di jazirah Leihitu adalah Hi. Usman Oper, Abdurrahman Somoal (negeri Liang), Hi. Hamid Umarella, Ishak Ohorella (negeri Tulehu), Muhammad Tahir Kaliky, Omara Polpoke, Hasim Tanase (negeri Wakasihu), Abubakar, Sia, Saleh Elly, Umar Attamimi (negeri Larike) Abu Kalauw, Abdul Gani Elly, Ibrahim Elly (negeri Asilulu), Hi. Umar Laitupa, Ismail Kiat, Daeng Caco Ibrahim (negeri Ureng), Hi. Kabir Kapitan Hitu Ollong, Hi. Majud Ollong, Ali Ollong, (negeri Hila), Umar Fatah, Bakar Fatah, Nurjab Fatah (negeri Wakal), Abdul Gani Malawat, Karim Malawat, Husen Samaneri (negeri Mamala), Muhammad Manilet, Sulaiman Latukau (negeri Morela), Hi. Ibrahim Pellu, Hi. Ahmad Slamat, H. Mahmud Slamat, Hi. Muhammad Slamat (negeri Hitumessing).
Nama-nama tersebut di atas adalah termasuk anggota Partai Indonesia Merdeka yang dengan tekad dan semangat patriotism yang tinggi telah mengadakan rapat dengan pengurus PMI yang ada di Ambon, menjelang berakhirnya konfrensi Meja Bundar (KMB) di Denghag Belanda antara Republik Indonesia dengan kerajaan Belanda tentang pengakuan kedaulatan, maka para pemuda yang berjuang yang tadinya melakukan gerakan bawah tanah, mulai menampakan diri secara terbuka, mempertahankan kemerdekaan mengingat KMB nantinya akan menghasilkan pengakuan kedaulatan oleh Belanda kepada Bangsa Indonesia, maka diinstruksikan kepada pejuang untuk menaikan bendera Merah Putih sebagai suatu penghormatan terhadap peristiwa tersebut. Rapat untuk menentukan kenaikan bendera Merah Putih dilaksan di negeri Tulehu (di Kecamatan Salahautu) dimana di dalam pertemuan itu akan menentukan tempat atau lokasi di daerah mana bendera Merah Puti dinaikan.
Di sini telah disepakati Gerakan Pemuda Indonesia (GERPI) mengusulkan agar dinaikan saja di negeri Tulehu, namun suasana saat itu tidak mengizinkan untuk bendera tersebut dinaikan di Tulehu, sehingga atas tekad dan keberanian, para pemuda (PIM) dari negeri Hitumessing yang dipimpin oleh Hi. Ibrahim Pellu (mantan raja Hitumessing) selaku ketua PIM negeri Hitumessing saat itu meminta dan mengusulkan supaya bendera Merah Putih agar dinaikan di Hitumessing, resiko dan tanggung jawab ketika itu cukup berat dan membahayakan tetapi Tuhan Yang Maha Adil dan bijaksana mengizinkan agar bendera itu tetap dikibarkan dengan aman. Maka setelah sepakat di Negeri Hitumessing, maka ketua PIM negeri Hitumessing Hi. Ibrahim Pellu saat itu tampak memikirkan resiko menuju Ambon dengan berjalan kaki untuk membeli kain merah putih disalah satu toko di Ambon, bertujuan untuk menjahit bendera Merah putih yang akan dikibarkan pada pengakuan kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1949 di negeri Hitumessing untuk seluruh rakyat Maluku. Bendera tersebut dijahit tanggan oleh pejuang wanita yakni istri mantan raja negeri Hitumessing bernama Ny. Jainab Pellu bendera dengan ukuran 226x143 cm dikibarkan di negeri Hitumessing. Dengan latar belakan peristiwa penaikan bendera Merah Putih tersebut, sehingga atas prakarsa para pejuang Veteran dan anak-anak Veteran di Kecamatan Leihitu dan Salah Hutu, maka dibangun sebuah monument berbentuk tugu di halaman rumah kepala desa Hitumessing dengan tipe berbentuk angka tujuh yang mengandung arti Sapta Marga dan di atas tugu terlihat sebuah patung berbentuk manusdeia dengan gigih dan semangat juang yang tinggi membawa bendera Merah Putih, mengandung arti para pejuang Veteran dan anak cucu dari generasi ke generasi tetap setia dan mempertahankan Kemerdekaan RI secara konsekwen dan murni. Di lain sisi negeri Hitumessing terpilih sebagai tempat pelaksanaan upacara kenaikan Bendera Merah Putih pada tanggal 27 Desember 1949 karena di negeri Hitumessing mempunyai sejarah gemilang sejak dahulu disamping  negeri-negeri lainnya di jazirah Leihitu. Selain itu masyarakat Hitumessing saat itu mendukung perjuangan Republik Indonesia. Ini adalah suatu motivasi kesetiaan rakyat untuk mempertahankan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, karena saat itu rakyat Maluku masih berada di bawah kekuasaan KNIL (tentara Belanda) (Arsip Hitumessing, Sekapur Sirih).
6.      Peristiwa kenaikan Bendera Merah Putih di Negeri Hitumessing
Peristiwa  kenaikan bendera Merah Putih pertama di pulau Ambon bermula ketika adanya kesempatan yang dilakukan oleh pemuda-pemuda Maluku di bawah pimpinan U. E Pupella mereka semula melaksanakan rapat di negri tulehu. Untuk menaikan bendera tersebut di tulehu namun kondisi daerah tulehu saat itu tidak menunjukan adanya tanda-tanda keamanan sehingga atas usulan Ibrahim Pellu raja negeri Hitumessing yang juga merupakaan angota PIM. Untuk menaikan bendera tersebut di negri Hitumessing. Segala resiko yang akan terjadi sudah di pikirkannya karena pada saat itu RMS menguasai wilayah Maluku sehingga untuk begabung dengan NKRI pada saat itu sangaat beresiko apalagi sampai mengibarkan bendera Merah Putih. Secara ringkas kain benderah tersebut di belih oleh raja Ibrahim Pellu di kota Ambon dan kemudian di jahit oleh istrinya Ny. Zainab Pellu istri dari Ibrahim Pellu pada saat itu. Kemudian bendera tersebut di kibarkan pada hari jumad pagi pemimpin upacara pada saat itu adalah U. E Pupella. Yang menaikan bendera pada saat itu adalah Ahmad Slamet

Tidak ada komentar:

Posting Komentar