1. Perlawanan Masyarakat Maluku Melawan
Kolonialisme
Perlawanan pertama masyarakat Maluku dilakukan dengan
mengadakan perlawawan kepada Portugis, Perlawanan Masyarakat Maluku melawan
Portugis terjadi di Maluku Utara pada 28 Februari 1570 saat de Mesquita
pemimpin Portugis di Ternate menyuruh membunuh Sultan Hairun pada saa itu juga
anak dari sultan Hairun yaitu Baab Ullah
mengumumkan perang total kepada Portugis. Benteng Portugis di Ternate dikepung
selama lima tahun (1570-1575) akhirnya Portugis menyerah dan meninggalkan
Ternate menuju Ambon, Malaka dan sebagian ke Tidore. Portugis juga juga
diserang oleh Hitu dan benteng Portugis dihancurkan, kekalahan Portugis tersebut
memaksa Portugis mundur ke jazirah Leitimur dan mendirikan benteng baru di
Urtetu dari benteng ini mereka melakukan offensif dan menyerang penduduk Islam
perang hebat terjadi juga dengan masyarakat Hatuhaha pada tahun 1571.
Sebaliknya Sultan baab Ullah mengirim armada dibawah pimpinan Robohongi untuk
menyerang Portugis orang-orang Portugis bertahan dalam benteng mereka yang baru
di Hunipopu dan dibantu oleh masyarakat Kristen di sekitarnnya setelah mereka
diusir sama sekali oleh Baab Ullah tahun 1575 mereka ke Ambon dan memperkuat
benteng ini. Di Ambon Portugis masih tetap bertahan sampai tahun 1605 karena
pada tahun ini mereka menyerah kepada Belanda atas bantuan Hitu (J.A.
Pattikayhatu, 1993: 65-66).
Selain pertempuran melawan Portugis masyarakat Maluku
juga melakukan pertempuran melawan kolonialisme Belanda akibat monopoli
perdagangan yang dilakukan oleh (V.O.C) tersebut maka timbul perlawanan oleh
rakyat Maluku di Pulau banda pada tahun 1609 armada V.O.C dibawah pimpinan
Verheoff dan Wittered mencoba menduduki kepulauan Banda namun usaha mereka
gagal karena masyarakat Banda berhasil membunuh Verheoff. Ketika Jan
Pieterszoon Coen menjadi gubernur jendral V.O.C pada tahun 1619 maka penduduk
Banda ditaklukan oleh V.O.C. timbul perlawanan dari masyarakat Banda namun
karena persenjataan yang tidak seimbang membuat masyarakat Banda mengalami
kekalahan penduduk Banda yang masih hidup mereka kemudian menyingkir ke
pulau-pulau di sekitarnya yaitu di Pulau Kei, Gorom, Hatuhaha dan sebagian
lainnya ke Makassar. Ketika rakyat Banda mengalami kekalahan semangat
masyarakat Maluku tidak padam tetapi semangat masyarakat Maluku terus berkobar
(Pattikayhatu, 1993: 67).
Perlawanan masyarakat Maluku melawan V.O.C dibawah
pimpinan Kakiali dengan pusatnya di benteng Wawani perlawanan dimulai pada
tahun 1634-1643 yang disebut Perang Hitu I. Namun Kakiali berhasil ditangkap
oleh Gubernur Deutecom dengan tipu muslihat dan dibuang ke Batavia. Perlawanan
tidak berhenti malah pertempuran semakin meluas penduduk Pulau Buru dan Ambalau
menyerang benteng V.O.C yang berada di sana. Demikian pula penduduk Pulau
Haruku dan Saparua bahkan sejak tahun 1636 penduduk negeri-negeri Kristen di
jazirah Leitimur, pulau Ambon bangkit melawan V.O.C. Pimpinan perang dipimpin
oleh panglima Hitu Pattiwani dibantu oleh Gimalaha Luhu dan Gimalaha Leilato
dari benteng Leisela di Hoamual (Pattikayhatu, 1993: 68).
Pada tanggal 16 Agustus 1643 Fransisco de Toira salah
satu kenalan Kakiali yang berasal dari Spanyol berhasil membunuh Kakiali ketika
disuap oleh pemerintah V.O.C. setelah Kakiali meninggal markas mereka
dipindahkan ke bukit Kapahaha benteng tersebut dikawal oleh kapitan Pattiwani
wakil dari Kakiali. Perang Hitu II dimulai sejak tahun 1643 dibawah pimpinan
Tulukabessy seorang pejuang dari Tanah Hitumessing, Tulukabessy adalah kapitan
yang diberi gelar Tubanbesi. Pada tahun 1644 Demmar menyerang benteng Kapahaha
namun digagalkan oleh rakyat Hitu, V.OC. Kemudian memblokade Seram selatan
sebagai sumber penyediaan bahan makanan dalam usaha untuk mematahkan blokade
tersebut Pattiwani gugur dalam pertempuran laut yang hebat. Setelah itu
penyerangan terhadap benteng Kapahaha terus dilancarkan Demmar kemudian
melakukan penangkapan terhadap pimpinan-pimpinan masyarakat Hitu dan dijadikan
sandera untuk Tulukabessy. Akibatnya Tulukabessy menyerah setelah benteng
Kapahaha berhasil ditaklukan Tulukabessy kemudian dihukum gantung di halaman
benteng Victoria di kota Ambon sebagai pahlawan Hitu yang besar (J.A.
Pattikayhatu, 1993: 69).
Peperangan terus berlanjut di wilayah lain di Maluku di
antaranya di Huamual, pada tahun 1643 pertempuran terus berkobar sampai membuat
V.O.C mengirimkan Arnold de Vlaming. Vlaming mulai menyerang Huamual pada tahun
1652, perjuangan masyarakat Huamual mulai melemah ketika benteng Asahude jatu
ke tangan V.O.C semua pejuang dan penguasa ditangkap dan dibuang ke Jawa ( J.A. Pattikayhatu 1993: 70-71).
Pada tahun 1796 Inggris dibawah laksamana Rainer merebut
dan menduduki Ambon. Pada tahun 1799 V.O.C dibubarkan dan Indonesia langsung
diperintah oleh pemerintah Belanda (Republik Bataaf) berdasarkan persetujuan
perdamaian antara Inggris dan Belanda pada tahun 1802 Ambon diserahkan kembali
kepada Belanda. Sejak tahun 1800 Inggris terus memblokade kepulauan Indonesia
dan menyerang daerah daerah di luar Pulau Jawa yang mempunyai kedaudukan
penting. Ambon, Banda dan Ternate diserang. Pada tahun 1810 Inggris kembali
menyerang dan menduduki Ambon sewaktu berlangsung peperangan dengan Napoleon di
Eropa. Pertahanan Belanda di Ambon yang dipimpin oleh seorang kolonel Prancis
yaitu Filz menyerah kepada Inggris. Berdasarkan kapitulasi tungtang pada
tanggal 18 September 1811, Indonesia secara resmi menjadi jajahan Inggris.
Kepualuan Maluku dikuasai Inggris dan di sini ditetapkan seorang residen
jendral yaitu Bryant Martin selama hampir enam tahun (1811-1817). Maluku
mengalami penjajahan Inggris pada tahun 1815 berdasarkan kongres Wina maka
Inggris menyerahkan Indonesia kembali kepada Belanda. Pada tanggal 19 Agustus
1816 Johan Fendal yang mewakili pemerintah Inggris menyerahkan Indonesia kepada
Belanda yang diterima oleh para komisaris jendral yang mewakili pemerintah
Belanda di Indonesia. Ketika Belanda telah menguasai Indonesia maka masyarakat
Maluku mulai menyusun strategi untuk menyerang Belanda tepatnya pada tanggal 15
Mei 1817 pagi maka penduduk melakukan serangan secara besar-besaran terhadap
benteng Duurstede di kota Saparua residen Van den Breng dan semua orang Belanda
mati terbunuh sedangkan yang hidup hanyalah anak kecil dari residen yang
diselamatkan oleh Kapitan Pattimura dan pasukannya (1993: 73-76)
Jadi keterangan
di atas berdasarkan bukti-bukti sejarah secara tertulis menunjukan bahwa
masyarakat Maluku telah berjuang keras dalam mengusir penjajahan dari seluruh
kepulauan Maluku.
2.
Gerakan
Perjuangan Nasional
Pergerakan
Nasional adalah usaha untuk menentukan nasib sendiri, maka cita-cita yang akan
dicapai menjadi tanggung jawab bersama atas dasar senasib dan sepenanggungan.
Oleh karena itu, harus ada persatuan dan kesatuan melawan penjajah untuk mewujudkan
persatuan dan kesatuan perlu adanya organisasi yang bersifat nasional, hal ini
dilakukan setelah adanya golongan “ Elit
Intelektual ”karena golongan yang memiliki wawasan yang luas, akibat penerapan
sistim pendidikan sistem Barat terhadap pelajar bumi putera, untuk masuk Stovia
dan pelaksanaan politik etis. Oleh karena itu, setelah tahun 1900 baru muncul
berbagai Organisasi Pergerakan Nasional, diawali oleh perkumpulan Budi Utomo
berdiri tanggal 20 Mei 1908, Sarekat Islam 25 Desember 1913 dan Indische Partij
25 Desember 1912. Pergerakan nasional
antara 1920-1942. Gerakan ini mempergunakan cara-cara perjuangan secara modern
yang dipelopori golongan intelektual. Dalam hubungan dengan berdirinya
organisasi-organisasi politik itu, orang Maluku juga mulai sadar terutama
golongan intelek yang berada di pulau Jawa Pada tanggal 9 Mei 1920 seorang
tokoh terkenal yaitu Alexander Jacob
Patty mendirikan “Sarekat Ambon” di Semarang. Inilah organisasi pertama dari
orang Ambon yang bersifat politik dengan tujuan untuk memajukan penduduk Ambon.
Perjuangan Sarekat Ambon ini berhasil mendesak pemerintahan Belanda, sehingga
pada tahun 1921 didirikan “Ambon Raad”. Setapak demi setapak Alexander Jacob
Patty membawa sarekat Ambon lebih mendekati ide-ide nasionalisme Indonesia,
seperti “Indische Partij”. Ia terus meyakinkan dan berusaha mempersatukan
ide-ide yang berbeda dari tokoh-tokoh pendiri Sarekat Ambon seperti dr. Kayadu,
dr. Siahaya, dr. Wesplat, P.R. de Quelju, J.M.M. Hatharia dan A.E. Kayadu.
Sarekat Ambon dalam perkembangannya semakin menjadi revolusioner dan menganut
paham radikal terhadap pemerintahan Belanda. Pada tahun 1922 Sarekat Ambon
masuk “Radicale Concentralie”. Sifat-sifat
radikal dan revolusioner A.J. Patty ditentang oleh Ambonsche Studiefonds.
Sarekat Ambon terus disiarkan melalui majalah mena muria dan ina tuni
(Pattikayhatu,1993 : 82 ). Selain itu terdapat beberapa organisasi lainnya di
Ambon seperti PGHB, Nusa Ina, Panji Nederland, Ambonsch Studiefond, Christiljik
Amboneshe, Studiefonds dan juga Ambon Raad yang didirikan pada tahun 1921.
3.
Era
Kemerdekaan
Era
Kemerdekaan dimulai ketika Negara Jepang dibom oleh sektu pada tanggal 6 dan 9
tanggal Agustus 1945. Saat itu Jepang sedang menduduki Indonesia namun ketika
terjadi peristiwa pengeboman yang dijatuhkan di dua kota besar yaitu Hiroshima
dan Nagasaki maka pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada sekutu.
Keadaan ini dimanfaatkan oleh rakyat Indonesia untuk segerah memproklamasikan
kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia menyatakan diri
sebagai bangsa yang merdeka. Indonesia sudah menyatakan dirinya sebagai Negara
merdeka. Namun hal itu bukan berarti kadaan dalam negeri menjadi tenang
kemerdekaan itu harus dipertahankan dari pihak asing. Untuk mempertahankan
kemerdekaan pemerintahan Indonesia menempuh dua cara yaitu perjuangan diplomasi
dan perjuangan bersenjata, perjuangan diplomasi melahirkan beberapa perjanjian
sedangkan perjuangan bersenjata melahirkan berbagai pertempuran. Pada masa awal
kemerdekaan, pemerintahan Indonesia menghadapi ancaman bersenjata dari pihak
asing yakni Inggris dan Belanda beserta sekutunya. Akibatnya hampir di setiap
kota atau daerah meletus pertempuran melawan Inggris dan Belanda.
Setelah
Jepang menyerah kepada sekutu, maka Negara anggota sekutu yang mendapatkan
tugas untuk masuk ke Indonesia antara lain adalah tentara kerajaan Inggris yang
tergabung dealam komando Asia Tenggara. (Sout East Asian Command atau SEAC) di
bawah pimpinan Laksamana Lord Louis
Mombatten untuk Indonesia bagian barat, dan pasukan South West Pasific Command
untuk wilayah Indonesia bagian timur (SWPC). Kedatangan SWPC di Ambon mereka
juga mengikut sertakan NICA kemudian mereka menjalankan pemerintahan
masing-masing dengan seorang Chief Conica yang menjabat sebagai residen untuk
Maluku Utara dan Maluku Selatan untuk menjadikan Maluku sebagai negara boneka
menurut konsep Belanda (J.A. Pattikayhatu, 1993: 94). Namun masyarakat Maluku
terus berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan dimulai dengan melakukan
“Ekspedisi Merah Putih ke Daerah Maluku” ekspedisi ini dari Pulau Jawa ke
daerah Maluku tepatnya di Pulau Buru tepatnya di kota Namlea dengan dua kapal Angkatan
Laut Indonesia yaitu Sindoro dan Semeru, di bawah komandan Letnan Ibrahim dan
Letnan Mulyadi turut pula anak Maluku yang ikut bersama mereka yaitu Bram
Matulessy. Setelah tiba di Namela mereka berhasil menanamkan sangsaka Merah
Putih di Pulau Buru pada tahun1946, setelah itu pasukan ekspedisi Merah Putih
mulai mengkoordinir masyarakat di Pulau Buru untuk melakukan pertempuran
melawan Belanda di bawah pimpinan Adam Pattisahusiwa dan kawan-kawannya namun
banyak dari mereka yang ditangkap oleh KNIL dan di penjarakan di Ambon
(Pattikayhatu 1993: 95). Berita kemerdekaan tersiar sampai ke Ambon maka E.M.
Pupella dan Ot. Pattimaipau mengorganisasikan para pemuda untuk mendirikan
Partai Indonesia Merdeka (PIM) banyak pemuda suku Ambon yang beragama Islam masuk
ke dalam oraganisasi PIM dan berjuang bersama-sama pemuda Kristen di dalamnya
untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
4.
Penrjuangan
Rakyat Maluku Mempertahankan Kemerdekaan
Dalam mempertahankan kemerdekaan, di Maluku rakyat bangkit
menyusun kekuatan untuk menghadapi Belanda yang telah menyusun pemerintahannya,
maka para tokoh masyarakat dan tokoh-tokoh pemuda segerah mengambil inisiatif
di kota Ambon mereka membentuk organisasi pejuang yang dipelopori oleh Dr.
Sudibyo, Rahyat, E.U. Pupella, Paul Maitimu, Basuki, Wim Reawaru, dan Hamid Bin
Hamid. Para tokoh ini mulai mengadakan rapat pertama yang dilakukan di rumah
Dr. Sudibyo, Jl. Urimessing (sekarang jalan di Penogoro) kota Ambon rapat
tersebut dipimpin oleh Dr. Sudibyo selain itu juga dihadiri oleh pemuka-pemuka
masyarakat, anggota-anggota KNIL, HEIHO dan SEINEDAN antara lain :
Surahardikusuma, Abubakar Galasia Tuharea, dari KNIL, M.Q. Maruapey dari HEIHO
dan Suyono dari Polisi Belanda rapat berhasil membentuk Pemuda Pembela
Indonesia (PPI) di bawa pimpinan Paul Maitimu dan Sutarto, sedangakan bekas
KNIL, HEIHO para pemuda dan nelayan berhasil membentuk Barisan Pembela
Indonesia (BPI) dipimpin oleh M.Q. Marwapey dalam perkembangannya BPI berubah
nama menjadi Pasukan Terpedam (PT) pada waktu yang sama di Ternate ibu kota
Maluku Utara, berhasil membentuk organisasi pejuang bernama Persatuan Indonesia
(PI) dipimpin oleh AM. Ali Kamah, Dr. Asam Susari dan Arnold Manuhutu. Di Tual
Maluku Utara dibentuk Pasukan Terpendam dibawah pimpinan Kuning Renwarin, kemudian
di Saumlaki dibentuk Gerakan Sabotase Terhadap Belanda, dibawah pimpinan
Maryadi, dimana salah satu anggotanya bernama Petrus Sayoga alias Go Kiem Peng.
Stelah organisasi-organisasi pejuang dibentuk maka disusunlah gerakan-gerakan
perlawanan terhadap Belanda maka pada akhir bulan Desember 1945 Barisan Pembela
Indonesia (BPI) mulai menyusun kekuatan untuk mengadakan penyerbuan terhadap
pasukan Belanda di benteng Victoria, Tangsi Batu Merah serta tempat lainnya di
kota Ambon yang diduduki Belanda. Namun gerakan ini gagal karena lebih dahulu
diketahui oleh Belanda atas penghianatan yang dilakukan oleh kelompok yang
dipimpin oleh Siswo yang mendahului yang mendahului Barisan Pembela Indonesia
(BPI) namun anggota BPI berhasi meloloskan diri dibawah pimpinan Pual Maitimu
dan Dr. Sutarto yang memiliki akar yang kuat karena mendapat dukungan dari kaum
nasionalis, namun mereka tidak dapat bergerak bebas di tengah masyarakat secara
leluasa. Mereka menghadapi rintangan yang cukup berat, karena selalu diawasi
oleh polisi Belanda, hingga (PBI) hanya bergerak secara illegal, dengan cara
melakukan propaganda terhadap masyarakat tentang tentang perjuangan
mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Disamping para pemuda yang tetap tinggal
di Maluku terutama anggota-anggota yang tetap tinggal di Maluku terutama
anggota-anggota dari organisasi PPI melakukan perjuangan dalam Partai Indonesia
Merdeka (PIM) dibawah pimpinan E.U
Pupella serta kawan-kawannya melalui partai Indonesia Merdeka yang diwujudkan
dengan rapat-rapat atau pertemuan-pertemuan yang bersifat politik dengan tujuan
untuk menyebarkan dan menggugah rasa harga diri, sebagai Bangsa yang sudah
merdeka terlepas dari belunggu penjajahan (Arsip Hitumessing, Sekapur Sirih)
5. Seputar
Peristiwa Penaikan Bendera Merah Putih di Pulau Ambon
Setelah peristiwa proklamasi wilayah
Maluku telah datangi oleh para pejuang Kemerdekaan Republik Indonesia yang
datang dari Jawa dan daerah-daerah lainnya. Para pejuang tersebut menggabungkan
diri dengan para pemuda Maluku mereka membentuk Partai Indonesia Merdeka (PIM)
yang telah dijelaskan sebelumnya Partai Indonesia Merdeka. Di sisi lain ada
sebuah partai yang diberi nama Partai Timur Besar dibawah pimpinan para pecinta
kolonial yang kemudian menggunakan kesempatan membentuk Negara sendiri yang
diberi nama Republik Maluku Selatan (RMS) yang dipimpin Mr. Soumokil dalam
pembentukan Negara boneka tersebut (RMS) mulai bekerja sama dengan pemerintah
kolonial Belanda dan memanfaatkan tenaga baret merah, baret hijau dan KNIL yang
masih aktif ditarik menjadi tentara RMS. Situasi dan kondisi yang sangat
membahayakan maka para pemuda PIM yang berada di pesisir jazirah Leihitu dan
sekitarnya menyusun kekuatan dibawah pimpinan Wim Reawaru, E.U. Pupella, Hamid
bin Hamid, J. Palemonia, Ahmad Bahasoan, Abdul Wahab Latukau, Abdul Umar
Maruapey Yusup Ambon dll. Anggota (PIM) di jazirah Leihitu adalah Hi. Usman
Oper, Abdurrahman Somoal (negeri Liang), Hi. Hamid Umarella, Ishak Ohorella
(negeri Tulehu), Muhammad Tahir Kaliky, Omara Polpoke, Hasim Tanase (negeri Wakasihu),
Abubakar, Sia, Saleh Elly, Umar Attamimi (negeri Larike) Abu Kalauw, Abdul Gani
Elly, Ibrahim Elly (negeri Asilulu), Hi. Umar Laitupa, Ismail Kiat, Daeng Caco
Ibrahim (negeri Ureng), Hi. Kabir Kapitan Hitu Ollong, Hi. Majud Ollong, Ali
Ollong, (negeri Hila), Umar Fatah, Bakar Fatah, Nurjab Fatah (negeri Wakal),
Abdul Gani Malawat, Karim Malawat, Husen Samaneri (negeri Mamala), Muhammad
Manilet, Sulaiman Latukau (negeri Morela), Hi. Ibrahim Pellu, Hi. Ahmad Slamat,
H. Mahmud Slamat, Hi. Muhammad Slamat (negeri Hitumessing).
Nama-nama tersebut di atas adalah
termasuk anggota Partai Indonesia Merdeka yang dengan tekad dan semangat
patriotism yang tinggi telah mengadakan rapat dengan pengurus PMI yang ada di
Ambon, menjelang berakhirnya konfrensi Meja Bundar (KMB) di Denghag Belanda
antara Republik Indonesia dengan kerajaan Belanda tentang pengakuan kedaulatan,
maka para pemuda yang berjuang yang tadinya melakukan gerakan bawah tanah,
mulai menampakan diri secara terbuka, mempertahankan kemerdekaan mengingat KMB
nantinya akan menghasilkan pengakuan kedaulatan oleh Belanda kepada Bangsa
Indonesia, maka diinstruksikan kepada pejuang untuk menaikan bendera Merah
Putih sebagai suatu penghormatan terhadap peristiwa tersebut. Rapat untuk
menentukan kenaikan bendera Merah Putih dilaksan di negeri Tulehu (di Kecamatan
Salahautu) dimana di dalam pertemuan itu akan menentukan tempat atau lokasi di
daerah mana bendera Merah Puti dinaikan.
Di sini telah disepakati Gerakan
Pemuda Indonesia (GERPI) mengusulkan agar dinaikan saja di negeri Tulehu, namun
suasana saat itu tidak mengizinkan untuk bendera tersebut dinaikan di Tulehu,
sehingga atas tekad dan keberanian, para pemuda (PIM) dari negeri Hitumessing
yang dipimpin oleh Hi. Ibrahim Pellu (mantan raja Hitumessing) selaku ketua PIM
negeri Hitumessing saat itu meminta dan mengusulkan supaya bendera Merah Putih
agar dinaikan di Hitumessing, resiko dan tanggung jawab ketika itu cukup berat
dan membahayakan tetapi Tuhan Yang Maha Adil dan bijaksana mengizinkan agar
bendera itu tetap dikibarkan dengan aman. Maka setelah sepakat di Negeri
Hitumessing, maka ketua PIM negeri Hitumessing Hi. Ibrahim Pellu saat itu
tampak memikirkan resiko menuju Ambon dengan berjalan kaki untuk membeli kain
merah putih disalah satu toko di Ambon, bertujuan untuk menjahit bendera Merah
putih yang akan dikibarkan pada pengakuan kedaulatan pada tanggal 27 Desember
1949 di negeri Hitumessing untuk seluruh rakyat Maluku. Bendera tersebut
dijahit tanggan oleh pejuang wanita yakni istri mantan raja negeri Hitumessing
bernama Ny. Jainab Pellu bendera dengan ukuran 226x143 cm dikibarkan di negeri
Hitumessing. Dengan latar belakan peristiwa penaikan bendera Merah Putih
tersebut, sehingga atas prakarsa para pejuang Veteran dan anak-anak Veteran di
Kecamatan Leihitu dan Salah Hutu, maka dibangun sebuah monument berbentuk tugu
di halaman rumah kepala desa Hitumessing dengan tipe berbentuk angka tujuh yang
mengandung arti Sapta Marga dan di atas tugu terlihat sebuah patung berbentuk
manusdeia dengan gigih dan semangat juang yang tinggi membawa bendera Merah
Putih, mengandung arti para pejuang Veteran dan anak cucu dari generasi ke
generasi tetap setia dan mempertahankan Kemerdekaan RI secara konsekwen dan
murni. Di lain sisi negeri Hitumessing terpilih sebagai tempat pelaksanaan
upacara kenaikan Bendera Merah Putih pada tanggal 27 Desember 1949 karena di
negeri Hitumessing mempunyai sejarah gemilang sejak dahulu disamping negeri-negeri lainnya di jazirah Leihitu.
Selain itu masyarakat Hitumessing saat itu mendukung perjuangan Republik
Indonesia. Ini adalah suatu motivasi kesetiaan rakyat untuk mempertahankan
proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, karena saat itu rakyat Maluku masih
berada di bawah kekuasaan KNIL (tentara Belanda) (Arsip Hitumessing, Sekapur
Sirih).
6. Peristiwa
kenaikan Bendera Merah Putih di Negeri Hitumessing
Peristiwa kenaikan bendera Merah Putih pertama di pulau
Ambon bermula ketika adanya kesempatan yang dilakukan oleh pemuda-pemuda Maluku
di bawah pimpinan U. E Pupella mereka semula melaksanakan rapat di negri
tulehu. Untuk menaikan bendera tersebut di tulehu namun kondisi daerah tulehu
saat itu tidak menunjukan adanya tanda-tanda keamanan sehingga atas usulan
Ibrahim Pellu raja negeri Hitumessing yang juga merupakaan angota PIM. Untuk
menaikan bendera tersebut di negri Hitumessing. Segala resiko yang akan terjadi
sudah di pikirkannya karena pada saat itu RMS menguasai wilayah Maluku sehingga
untuk begabung dengan NKRI pada saat itu sangaat beresiko apalagi sampai
mengibarkan bendera Merah Putih. Secara ringkas kain benderah tersebut di belih
oleh raja Ibrahim Pellu di kota Ambon dan kemudian di jahit oleh istrinya Ny.
Zainab Pellu istri dari Ibrahim Pellu pada saat itu. Kemudian bendera tersebut
di kibarkan pada hari jumad pagi pemimpin upacara pada saat itu adalah U. E
Pupella. Yang menaikan bendera pada saat itu adalah Ahmad Slamet
Tidak ada komentar:
Posting Komentar