Rabu, 11 Mei 2016

RMS DALAM CATATAN SEJARAH KE-2


Krisis Politik
Tetapi keadaan berubah sejak awal 1950 dengan munculnya krisis politik di Ambon . Bermula ketika Urbanus Pupella, pimpinan PIM mengeluarkan pernyataan tidak ingin masuk dalam federasi, tetapi mau bergabung dengan Republik Indonesia . Pada 19 Januari 1950 tiba anggota-anggota militer Paratroep asal Ambon pulang kampung dan mendarat di Ambon . Sebelumnya pasukan-pasukan ini ketika berada di Makassar sudah terkontaminasi oleh Mr. Christiaan Soumokil, Jaksa Agung RIS yang anti-RI melakukan provokasi kepada pasukan-pasukan khusus baret merah dan hijau asal Ambon ini. Kegiatan provokasi yang dilakukan oleh Soumokil karena dibiarkan oleh Kolonel Schotborgh, Komandan tentara Belanda di Makassar. Schotborgh juga menjadi penyebab terjadinya kerusuhan di Makassar karena membiarkan Soumokil menghasut Kapten Andi Azis melakukan aksi pemerontakan di Makassar. Ambon menjadi tegang dengan kembalinya pasukan-pasukan khusus asal Ambon yang sebagaian besar terkena disersi, giat melakukan konfrontasi dengan barisan PIM dari Pupella yang saling berlawanan. Konflik di Ambon pun tidak terhindar ketika pada 19 Februari 1950 terjadi perkelahian antara anggota-anggota PIM yang pro-Republik dengan anti-Republik yang di dukung oleh pasukan-pasukan khusus ini. Pemerintah Ambon ketika itu berubah menjadi negara Polisi yang juga berpihak pada kelompok anti-Republik. Dalam peristiwa berdarah ini menimbulkan 19 orang korban. Konflik kemudian menyebar dimana-mana tanpa bisa dicegah. Pada 12 Maret 1950, kepala desa Asilusu, Ibrahim Tangko, anggota PIM, di datangi 10 orang anggota polisi yang langsung mengeroyok dan menyiksanya. Begitu pula pada 17 Maret, di desa yang sama, Awat Betawi, juga anggota PIM didatangi anggota-anggota polisi yang menyiksanya hingga pingsan.
Yang tak kalah tragisnya adalah pada hari yang sama di desa Wakasihu, pimpinan PIM setempat, Ohorella, dan ibunya juga harus mengalami siksaan tidak manusiawi. (Teu Lususina, Ambon )
RMS di dirikan
Di Ambon mulai muncul desas-desus bahwa wilayah Indonesia Timur sudah di kuasai oleh pasukan Jawa (baca APRIS), dan menurut rencana pasukan TNI dari Jawa akan menyerbu Ambon pada akhir Maret. Desas-desus ini menimbulkan kepanikan, terutama di kalangan pemerintahan dan kalangan fungsionaris pedesaan. Kemudian pada 5 April muncul berita yang sangat menyenang pemimpin-pemimpin anti-Republik bahwa pasukan TNI dari Batalyon Worang akan memasuki kota Makassar . Tak lama kemudian tersiar berita bahwa seorang Kapten Bugis muda, bernama Andi Azis bersama batalyonnya telah menduduki kota Makassar dalam usaha untuk mempertahankan kota ini dari serbuan Batalyon Mayor H V Worang. Aksi pemberontakan Andi Azis di Makassar di ikuti dengan seksama dan penuh kecemasan oleh kalangan anti-Republik di Ambon . Situasi Ambon menjadi tak menentu ketika mengetahui Andi Azis sudah ditangkap dan Makassar sudah aman dari pemeberontakan setelah Kolonel Alex Kawilarang di angkat menjadi Panglima territorial Indonesia Timur.Pada 18 April 1950, J A Manusama, yang ketika itu menjabat direktur urusan sekolah-sekolah menengah di Ambon, memprakarsai rapat umum di Ambon untuk menenangkan keadaan. Pada 21 April terdengar kabar bahwa Andi Azis dengan resmi menjadi tahanan. Sebelumnya ia datang ke Jakarta yang katanya di janjikan akan dibebaskan bila melapor kepada pemerintah.
Penahanan Andi Azis membuat para pemimpin RMS melakukan pertemuan khusus membahas situasi dan keadaan di Indonesia Timur. Dari pertemuan itu muncul ide pemisahan diri dari Republik Indonesia Serikat (RIS). Pada 23 April 1950, Sersan Mayor (KNIL) Ibrahim Ohorella, Sersan Mayor Sapulete bersama Ir Manusama memprakarsai pertemuan dengan wakil-wakil militer, polisi dan sipil untuk melakukan persiapan dan menyusun konsep kemerdekaan Maluku Selatan terlepas dari Republik Indonesia Serikat dengan mencetuskan proklamasi Republik Maluku Selatan. Pada esok harinya, konsep ini diajukan untuk mendapat persetujuan dari Kongres Rakyat yang berlangsung di gedung pemerintah di Batugadjah dan dihadiri sekitar 6000 pengunjung, yang secara aklamasi disetujui.
Konsep proklamasi itu kemudian di bacakan pada 25 April 1950 dan di tandatangani oleh J H Manuhutu dan A Wairizal.
Teks proklamasi RMS berbunyi:
Proklamasi
Kemerdekaan Maluku Selatan
Memenuhi kemauan jang sungguh, tuntuan dan desakan rakjat Maluku Selatan, Maka dengan ini kami proklamir KEMERDEKAAN MALUKU SELATAN, defakto dejure, Yang berbentuk Republik, lepas dari dari pada segala perhubungan ketatanegaraan Negara Indonesia Timur dan RIS, beralasan NIT sudah tidak sanggup mempertahankan Kedudukannya sebagai Negara Bahagian selaras dengan peraturan2 Mutamar Denpasar
Jang masih sjah berlaku, djuga sesuai dengan keputusan Dewan Maluku Selatan Tertanggal 11 Maret 1947, sedang RIS sudah bertindak bertentangan dengan Keputusan2 KMB dan Undang2 Dasarnya sendiri.
Ambon, 25 April 1950 – Pemerintah Maluku-Selatan,
J H Manuhutu
A Wairizal
Pada 26 April terbentuk pemerintahan RMS dengan susunan: J H Manuhutu sebagai Presiden; A Wairizal (Pimpinan Dewan Rakyat dan pimpinan departemen); Mr Soumokil (Luar Negeri); D J Gasperz (Dalam Negeri); J Toule (Kehakiman); J B Pattiradjawane (Keuangan); SJH Norimarna (ekonomi); H F Pieter (lalu-lintas dan Pengairan), P W Lokollo (sandang-pangan) ; A Nanlohy (pertahanan) ; Ir J A Manusama (Pendidikan) dr Th Pattiradjawane (Kesehatan); dan Z Pesuwarissa (Penerangan) .
Pada 2 Mei 1950, di atas gedung pemerintah, berkibar bendera nasional RMS empat warna, biru-putih, hijau dan merah dari hasil kesepakatan pemuka-pemuka desa (raja-raja).
Angkatan Perang RMS dibentuk
Pada 9 Mei di Ambon oleh tentara-tentara eks KNIL dengan menggunakan cara tentara Belanda mendirikan Angkatan Perang Republik Maluku Selatan (APRMS). Kekuatan ini di topang oleh barisan sukarela yang umumnya terdiri dari anak-anak muda usia 16 tahun keatas yang militant dan fanatic mempertahankan RMS. Pada Juni 1950 pucuk pimpinan APRMS dibentuk yang terdiri dari Sersan Mayor Samson sebagai Panglima dan Sersan-Mayor Pattiwael sebagai Kepala Staf APRMS. Anggota-anggota Staf antara lain adalah Sersan-Mayor Kastanja dan Sersan Mayor Pieter dan Sersan Aipassa. Kesemua mereka ini adalah prajurit-prajurit KNIL tua yang kemudian mendapat pangkat dari Kolonel hingga Mayor.
Pulau Seram juga mendapat tempat sebagai basis pertahanan, hingga juga terbentuk satuan kekuatan militer dengan sebutan Tentara Panah  terdiri dari sekitar 10.000 orang.
Ketika RMS diproklamirkan, beberapa minggu kemudian, diantara serdadu-serdadu KNIL asal Maluku memasuki APRMS dan jumlahnya berkisar 4.000 personal dan melikuidasi dari garnisun di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Jawa.
Mereka menyatakan solider dengan RMS dan menolak di pindahkan ke APRIS, untuk itu menuntut di demobilisasi dan di pindahkan di daerah-daerah non-RIS, apakah di wilayah RMS ataupun di Papua.
Tuntutan mereka ini ditolak oleh Belanda yang tidak mau lagi direpotkan setelah peristiwa pemberontakan Andi Azis yang dilakukan oleh kalangan militer KNIL asal Ambon di Makassar. Untuk itu banyak diantara pasukan KNIL asal Ambon di Makassar di evakuasi ke Jawa, dan disana mereka di kosentrasikan pada 5 daerah garnisun, masing-masing: Jakarta , Bandung , Surabaya , Malang dan Semarang .
Merekapun mendapat pilihan, demobilisasi di Jawa atau ikut bersama APRIS membebaskan Maluku dari RMS.
Yang menolak, hingga pada kelima garnisun itu dibentuk panitia untuk melayani dan mengatasi mereka yang membangkang.
Untuk mengatasi keadaan, pihak militer Belanda melakukan pendekatan dengan Perwakilan Rakyat Maluku, hingga satu delegasi di pimpin Sersan-Mayor Aponno di kirim ke Negeri Belanda untuk berunding dengan pemerintah Belanda.
Ketika pada 26 Juli 1950, KNIL secara resmi dibubarkan oleh pemerintah Belanda, yang sehari sebelumnya, semua personal eks KNIL diberhentikan. Walau begitu ke-4000 pasukan pembangkang yang pro RMS berada di bawah tanggung jawab militer Belanda. Pemerintah Belanda melarang dilakukannya demobilisasi di wilayah Indonesia bagi para pembangkang. Untuk mengatasinya, tidak ada pilihan, yakni mengangkut mereka ke Negeri Belanda, dengan beaya satu juta gulden untuk setiap kapal. Untuk itu, oleh pemerintah Belanda yang tidak mendukung ataupun mengakui RMS menekan delegasi Aponno di tekan untuk menerima putusan ini, dan tidak dibenarkan dikembalikan ke Ambon .
Sebagai hasilnya pada bulan Maret/April 1951, prajurit-prajurit eks KNIL di berangkatan ke Negeri Belanda terdiri dari: 6 pendeta militer; 3 perwira ajudan; 35 sersan-mayor; 372 sersan dan fourier; 821 kopral dan 2341 serdadu. Secara keseluruhan bersama isteri-isteri dan anak-anak berjumlah 12.500 orang.
Pada 8 Juni 1950 diputuskan untuk membentuk Perwakilan RMS di Luar Negeri. Sebelumnya, pada 27 April 1950 pihak RMS menunjuk dr J P Nikijuluw sebagai pimpinan perwakilan RMS di luar negeri dengan P W Lokollo sebagai Wakilnya dibantu Komisaris pemerintah, I A Lebelauw. Ketiga mereka ini berada di Negeri Belanda.
Pada 16 Oktober 1950 pihak RMS mengirim kawat kepada dr Nikijuluw dan memberi kuasa sebagai delegasi RMS ke Dewan Keamanan PBB dan menunggu laporan dari pihak UNCI mengenai “Masalah RMS” yang katanya akan di kirim ke Dewan Keamanan. Sebulan sebelumnya pada 4 September 1950, dalam sidang Parlemen RMS di Ambon ditetapkan pada pasal I UUD RMS berbunyi: “Republik Maluku Selatan adalah Negara sah, yang bebas dan merdeka sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi.” (Bung Penonton: De Zuid Molluksi Republiek, 1977). Departemen Luar Negeri RMS di Ambon mengeluarkan pernyataan yang isinya mengatakan: RMS sedang berusaha berhubungan dengan Amerika Serikat, terutama dengan Australia untuk berembuk dalam usaha untuk melakukan Pertahanan dan keamanan bersama di Pasifik-Selatan menghadapi kemungkinan ancaman agresi komunis. Untuk hal itu, RMS berusaha menghubungi AS ataupun Australia dengan menawarkan beberapa tempat strategis bagi penempatan pangkalan-pangkalan militer dan penempatan kekuatan armada-armada laut mereka.” Pernyataan ini mendapat kecaman dari Urbanus Pupella yang mengatakan merupakan pengkhianatan terhadap rakyat Maluku. Pada 15 Juli 1950 pihak pimpinan RMS mengatakan, negara dalam darurat, Staat van Oorlog en Beleg (SOB) untuk seluruh wilayah Sulawesi Selatan. Tetapi pada 8 Agustus 1950, secara resmi pemerintah RMS membentuk Dewan Parlemen Sementara. Dewan ini terdiri dari 75 anggota, terdiri dari 60 kepala-kepala desa dan 15 orang-orang yang dikenal masyarakat. W A Lokollo di tunjuk menjadi ketua menggantikan S Tjokro dari PIM. Selanjutnya RMS menjadi negara Polisi di pimpin oleh Komisaris H J Malaiholo yang tak lama kemudian meninggal dan kedudukannya diganti oleh seseorang bernama Filippus yang memimpin intelijen militer. Selain itu juga dibentuk Dewan Konstitusi yang mulai aktif pada 4 September 1950. Beberapa tahun kemudian ketika mereka di adili Wairizal dan Manuhutu oleh Pengadilan militer Indonesia , kedua mereka ini mengakui bahwa mereka dipaksa untuk menandatangani teks proklamasi ini. Dari pertemuan-pertemuan yang dilakukan, ternyata tidak satupun secara bulat terjadi persetujuan dibentuknya RMS oleh kalangan masyarakat Maluku sendiri. (Ernst Utrecht).
Reka-yasa Soumokil yang gagal
Ternyata pengadaan RMS di reka-yasa oleh Mr Christiaan Soumokil yang sering bersikap eksentrik dan bahkan juga tidak senang pada Negara Indonesia Timur, dan lebih berpihak pada kembalinya kolonialisme Belanda. Lagi pula pembentukan RMS sama sekali bukan aspirasi dari masyarakat Maluku Selatan. Sementara dibawah prakarsa PIM, pada umumnya para pimpinan politik, kepala-kepala desa, pemuka-pemuka agama baik Kristen maupun Islam, sepakat untuk menempatkan Maluku Selatan sebagai bagian dari RIS yang di bentuk pada 27 Desember 1949 setelah penyerahan kedaulatan pada hari yang sama.
Untuk meraih ambisinya, Soumokil melakukan kegiatan kampanye, dan pertama-tama berkunjung ke Kupang di Timor dan kemudian ke Manado untuk mempengaruhi masyarakat di sana . Tetapi tujuannya sama sekali tidak berhasil hingga ia mendarat di Ambon pada 14 Desember. Kesemuanya dengan menggunakan fasilitas Belanda yang diberikan oleh Kolonel Schotborg untuk mempengaruhi agar Indonesia Timur tidak bergabung dengan Republik. Setelah berada di Ambon , Soumokil giat melakukan penyusunan rencana mempertahankan RMS dari penyerbuan pasukan APRIS. Sehari setelah cetusan proklamasi, pihak RMS melakukan perekrutan pada pemuda-pemuda sebagai sukarelawan mempertahankan RMS dari APRIS. Selain Ambon, juga berusaha menarik simpati di berbagai kepulauan. Tetapi kampanye RMS tidak mendapat sambutan dari penduduk di Buru , Aru, Banda, Kei dan Tanimbar. Sementara dukungan terbanyak diperoleh dari penduduk kota Ambon, Seram dan beberapa pulau lainnya sekitar Ambon , dan juga pulau-pulau seputar Maluku Tengah. Cetusan proklamasi RMS kurang mendapat sambutan, terutama di kalangan pelajar-pelajar dan kalangan ilmuan Ambon di luar Ambon, terutama di Jawa dan Sumatra karena memahami pandangan-pandangan nasionalisme. Pendukung RMS umumnya terdapat dikalangan militer KNIL asal Ambon. Umumnya militer pro RMS yang terkena demobilisasi menolak untuk masuk sipil di Jawa. Banyak diantara mereka ini, mau tidak mau, dipaksa oleh Belanda dan di angkut ke Negeri Belanda. Begitu hebatnya provokasi Soumokil hingga memerlukan waktu cukup lama untuk meredakan keadaan.
Misi Perdamaian Leimena yang gagal
Waktu itu Kementerian Pertahanan belum lama mengangkat Kolonel Alex Kawilarang sebagai Panglima TT-IT. Selain sibuk melakukan organisasi militer untuk ekspedisi, juga giat menghadapi pemberontakan oleh pasukan-pasukan KNIL disersi asal Maluku di Makassar. Sambil merampungkan organisasi APRIS yang untuk pertama kali melakukan ekspedisi di luar Jawa, dan mengatasi aksi militer eks KNIL di Sulawesi Selatan, pemerintah Jakarta mengutus misi perdamaian ke Maluku pimpinan dr Leimena ke Ambon dengan maksud melakukan pendekatan dengan gembong-gembong RMS. Menteri Republik Leimena di dampingi, ahli medis dari Surabaya, dr C A Rehatta, Ir Putuhena, dan Menteri Penerangan Federal, Peloepessy. Pada 1 Mei 1950, dengan kapal korvet Hang Tuah milik ALRI rombongan misi perdamaian ini berangkat ke Ambon . Kepergian mereka ditehui oleh pimpinan RMS, dan mengirim kawat ke Jakarta , bersedia berunding tidak di kapal, tetapi melalui komisi internasional. Balasan kawat ini tidak ditanggapi oleh Jakarta dan kapal Hang Tuah sudah terlihat berlabuh di Teluk Ambon. RMS mengeluarkan syarat bila mengirim delegasinya ke kapal. Pada 6 Mei 1950, Kantor-berita Antara melaporkan mengenai misi Leimena sebga(i berikut: “ Makassar , 5 Mei 1950. Seperti telah diberitakan mengenai “Misi-Ambon” pimpinan Dr Leimena, yang pada hari Kamis jam 11 malam telah tiba di Makassar . Pada Jum’at pagi Dr Leimena pada jumpa pers mengatakan bahwa kapal “Hang Tuah” yang membawa rombongan misi hanya berada kurang dari satu jam di Teluk Ambon, dan berlabuh dekat mercu suar. Syahbandar pelabuhan Ambon yang bertindak sebagai pengubung membawa surat dari pimpinan “Pemerintah Maluku Selatan’ yang diminta agar misi ini langsung menjawab. Tetapi tak sampai satu jam, sebelum pihak misi damai dapat menjawab surat itu, syahbandar itu langsung di panggil oleh orang-orang di darat untuk kembali ke darat. Pada surat itu pihak RMS mengatakan mengusulkan agar dalam perundingan itu, menempatkan RMS sebagai negara yang berdaulata, yang tidak mungkin dapat dilakukan oleh misi RIS. Leimena sangat kecewa dengan sikap ‘saudara-saudara Ambon ’ ini, dan mengatakan: “Padahal misi ini adalah antara sesame “Putra Bangsa” untuk sama-sama berembuk dan mengatasi permasalahan secara damai.” Waktu syahbandar kembali ke darat, terlihat jelas dari korvet, pejabat itu dipukuli sampai babak belur oleh prajurit KNIL dari pasukan “Baret Hijau.” Peristiwa perlakuan pejabat-pejabat RMS ini sangat menyayat hati Leimena dan kawan-kawan sesama asal Ambon . Karena yang dihadapinya adalah orang-orang dungu yang buta politik yang membawa derita terhadap masyarakat banyak di Maluku. Walau begitu, Dr. Leimena masih berusaha melakukan pendekatan dan meminta kapal “Hang Tuah” berlayar ke Saparua dengan maksud untuk menemui Manus Pattiradjawane, pimpinan setempat. Tetapi disana juga pihak penguasa RMS di Saparua melarang kapal merapat. Padahal Pattiradjawane adalah saudara ipar dari Gubernur Maluku, Johannes Latuharhary, namun ikatan keluarga tidak meluluhkan kekerasan sikap RMS hingga memutuskan tali persaudaraan.
Blunder dari Radio RRI Jakarta
Masih lagi di coba untuk melakukan pendekatan dengan pengadaan misi damai kedua. Tetapi ini pun gagal sebelum di mulai. Hal ini terjadi oleh siaran dari Radio RRI di Jakarta yang kurang di awasi. Waktu itu diumumkan tentang percobaan pengiriman misi perdamaian kedua. Tetapi sang penyiar mengakhiri siaran itu dengan menggunakan kata “ancaman” jika misi kedua ini tidak diterima, akan di daratkan 15.000 tentara TNI. Perkataan “ancaman” pada siaran itu secara psikologis merupakan kesalahan besar. Karena ketika itu TNI sama sekali belum punya persiapan untuk mendarat. Dan, benar saja, beberapa hari kemudian, Radio “RMS” mengumumkan, mereka tidak gentar sekalipun 150.000 tentara TNI akan mendarat. Karena waktu itu Panglima TT-IT sedang sibuk menempatkan pasukan-pasukan TNI di tempat-tempat yang perlu di seluruh pulau Sulawesi, Morotai dan Ternate (Maluku Utara), pulau-pulau Nusatenggara dari Bali sampai Timur. Juga di Tamimbar, Aru dan Kei di Maluku Selatan. Di tempat-tempat ini keadaan aman, kecuali di kota Makassar .
Sesudah peristiwa pertempuran bulan Mei 1950, terasa sekali keadaan masih eksplosif.
Selama pasukan KNIL asal Ambon masih bersenjata dan memperlihatkan sikap provokatif, Komandan Sektor Makassar, Letkol Soeharto harus siaga 24 jam sehari dengan sebagian dari pasukannya terhadap suatu serangan mendadak. Untuk menyelesaikan masalah RMS, perlu di datangkan pasukan baru dari Jawa, dan di kirim batalyon Mayor Soeradji dan batalyon Mayor Pelupessy. (Alex Kawilarang: Untuk Sang Merah Putih, 1988).
Blokade Laut APRIS dan kegagalan misi Schotborgh mengendalikan Tentara KNIL
Manusama pada bukunya, Om Recht en Vrijheid mengungkapkan bahwa kegagalan misi perdamaian Leimena berlanjut dengan rencana pemerintah Jakarta melakukan aksi blokade laut terhadap RMS. Tetapi karena di Ambon terdapat orang-orang Belanda, hingga pemerintah RIS menghubungi Komisariat Tinggi Belanda di Jakarta untuk mengorganisir proses evakuasi.
Pada 8 Mei 1950 di Ambon datang dua misi Belanda; misi sipil oleh Van Hoogstraten dan Deinse, misi militer pimpinan Kolonel Schotborgh. Kedua misi ini bertujuan melakukan evakuasi terhadap militer, ambtenaren dan orang-orang sipil Belanda. Pihak RMS membantu misi-misi ini dengan lancar hingga kesemua warga negara Belanda ini berangkat dengan kapal Kota Intan  dari Ambon menuju Jakarta . Tugas Kolonel Schotborgh tak hanya berurusan dengan evakuasi, tetapi juga harus mencegah agar pasukan pasukan eks KNIL dari Ambon tidak terlibat dengan urusan Republik Maluku Selatan, yang merupakan instruksi langsung dari Panglima tentara Belanda di Jakarta, memerintahkan semua tentara KNIL di konsinyir dan masuk tangsi-tangsi militer. Mereka yang melanggar akan menerima sangsi akan di peact dan semua hak-haknya di cabut, demikian Kantor Berita Aneta. Tetapi usaha Schotborgh sebagai Komandan Teritorial Indonesia Timur dengan mendekati dan meyakinkan tentara-tentara KNIL asal Ambon tidak membawa hasil. Bahkan sebagian besar dari mereka ini langsung mundur dari dinas KNIL dan mendaftarkan diri menjadi tentara RMS.
APRIS Mulai Memerangi RMS
Setelah memperoleh jumlah pasukan yang cukup, Panglima Kawilarang mulai menggerakan kekuatan APRIS menuju perairan Maluku di minggu keempat bulan Mei. Sasaran pertama adalah pendaratan di pulau Buru dan Seram Selatan. Dengan taktik demikian, pusat RMS di Ambon lambat laun terisolasi.
Waktu itu pasukan penyerbu TT-TI belum lagi memiliki LCM (Landing Craft Medium) dan LCVP (Landing Craft Vehicles dan Personnel). Kedua landing craft ini cocok untuk mendarat jika ada perlawanan. APRIS waktu itu hanya punyak LCI (Landing Craft Infantry) yang tak dapat begitu mendekati pantai seperti LCVP dan LCM. Lagi pula, jika LCI sudah kandas dekat pantai, tentara hanya bisa mendarat seorang demi seorang lewat dua jembatan sempit sebelah kiri dan kanan dari bagian muka LCI. Dalam bukunya, Kawilarang mengatakan: “Sebelum mendarat di Pulau Buru dan Seram kami perlu mengadakan latihan pendaratan dengan LCI di suatu pulau dekat Makassar . Latihan ini antara lain diadakan dengan dua kompani dari Bataltyon Suradji yang direncanakan akan mendarat dulu di Buru. Waktu LCI kandas dan kami turun, air laut sampai dada saya. Kapten Leo Lopulisa dan Mayor laut Alex Langkay malahan masuk laut yang lebih dalam lagi. Belum lagi prajurit-prajurit dari Batalyon Suradji. Waktu sedang melangkah ke darat, saya dengar seorang prajurit sambil batuk berteriak pada temannya, “Lho, air laut asin.” Jangan heran, mereka datang dari Solo, belum pernah masuk laut. Tetapi saya juga berpikir, pasukan pendaratan ini belum benar-benar merupakan seaborne forces.” Sesudah empat hari berlayar dari Makassar, pasukan APRIS tiba di utara Pulau Buru pertengahan Juli 1950. Ombak tinggi sekali dan hampir seluruh seaborne force, yaitu Batalyon Pelupessy dan dua kompani Batalyon Soeradji, mabuk laut. Maklum hanya dengan dua LCI dan satu LST (Landing Ship Tanks). Di utara Buru mereka rendez-vous (berkumpul) dengan kapal Waikelo yang membawa Batalyon 3 Mei pimpinan Mayor Mengko dari Manado .Esok harinya dua kompani Batalyon Suradji mendarat dahulu kira-kira lima kilometer sebelah barat Namlea. Tidak ada perlawanan. Menyusul pendaratan Batalyon Pelupessy yang akan maju ke Namlea. Ternyata pasukan ini mendapat hadangan dan menderita korban. Selain itu hampir seluruh pasukan merasa lemas. Karena pada umumnya selama empat hari muntah-muntah. Waktu pendaratan, “ransom” makan, berupa biscuit laut untuk dua hari, basah dan tak bisa dimakan. Kawilarang putuskan, supaya Batalyon 3 Mei, yang masih segar dan sehat karena diangkut dengan kapal besar Waikelo, untuk menyerbu Namlea. Hal ini terjadi di pagi hari, pada hari ketiga. Pada serangan ini Prajurit Banteng jatuh sebagai korban pertama dan Sersan Mayor Tandayu luka. Senjata-senjata yang ditinggalkan di markas RMS antara lain berupa beberapa brengun. Pasukan penyerbu sangat hati-hati mendekati markas dan gudang RMS itu. Ternyata tidak ada booby trap. Keesokan hari tiba dengan kapal korvet, Letkol Slamet Rijadi, Komandan Pasukan Maluku. Iapun gembira karena bertemu dengan Mayor Soeradji, bekas bawahannya. Disamping itu, datang juga Kapten M Jusuf yang akan menjadi ajudan Panglima Kawilarang. Kemudian di rencanakan untuk menduduki Piru dahulu oleh Batalyon 3 Mei. Kota Piru di dekati dari dua jurusan. Waktu sore hari tiba di sana , pasukan RMS sudah mengosongkannya. Sebelumnya dikirimkan tiga orang tentara eks RMS yang di tawan ke sana untuk meyakinkan pasukan RMS supaya bergabung dengan APRIS atau menyerah. Ternyata waktu Piru di duduki, ketiga orang itu sudah di tembak mati oleh komandan pasukan RMS di Piru, Nussy. Salah seorang yang dibunuh malahan Lestiluhu, komandan pasukan RMS di Buru, yang ditawan pasukan APRIS di Namlea. Ia adalah anggota Baret Hijau punya banyak teman di Batalyon 3 Mei, dimansa satu peleton juga terdiri atas bekas anggota Baret Hijau dan Baret Merah. Dua hari kemudian pasukan APRIS mendarat di teluk, kira-kira tiga kilometer sebelah utara Amahai, dengan dua kompani dari Batalyon Soeradji. Letkol Slamet Rijadi selalu berada di depan. Sesudah pertempuran kurang lebih dua jam, Amahai pun di duduki. Letkol Slamet Rijadi sebagai komandan pasukan Maluku, sementara kepala staf Mayor Herman Pieters mengkonsolidasi pasukannya. Juga dikepulauan Banda dan bagian selatan Pulau Seram sudah di kuasai pasukan APRIS. Batalyon Abdullah sudah menempatkan pasukan APRIS di kepulauan Tamimbar, Kei, Aru hingga kepulauan Geser dan beberapa tempat di Seram Selatan. Mayor Abdullah gugur dalam salah satu pendaratan di Seram Selatan. Ternyata pasukan RMS dapat menyeberangkan sebagian pasukannya dengan perahu-perahu ke Pulau Seram dan menyerang Amahai. Tetapi serangan ini dapat di patahkan oleh pasukan Mayor Soeradji.
Pertempuran empat hari di Makassar (5-9 Agustus) sempat memperlambat operasi militer APRIS ke Ambon selama sekitar satu bulan, sementara pasukan tambahan dari Jawa sudah berdatangan. Rencana penyerbuan selanjutnya adalah mendaratkan pasukan di Hitulama-Hitumesing , di utara pulau Ambon, dan pasukan lain di Tulehu dibagian timur dan sesudah dua pasukan bertemu di Paso, menyerang kota Ambon dari utara dan ada lagi pasukan lain yang akan menduduki lapangan terbang di sebelah barat pulau Ambon .
Yang akan mendarat di Hitulama dan Hitumesing adalah pasukan Mayor Jusmin dengan di pimpin oleh Letkol Soediarto. Pasukan 3 Mei pimpinan Mayor Mengko akan mendarat di Tuleho. Dalam pendaratan di Tuleho, Letkol Slamet Rijadi mendarat di sebelah selatan Tuleho dan Kolonel Kawilarang bersama Kapten Jusuf, Leo Lopulisa, Joost Muskita dan Kapten Claproth di sebelah utara Tulehu. Untuk pendaratan itu, APRIS sudah terima 10 LCM. Enam LCM akan digunakan untuk Tulehu dan empat lainnya untuk Hitu. Alex Mamusung, merupakan wartawan foto perang dari Indonesia Press Photo Service (Ipphos) yang turut meliput operasi penumpasan RMS melalui lensa foto sangat bermanfaat mengisi lembaran sejarah. Sejak pertempuran- pertempuran di Makassar, Buru, Piru, Amahai dan Ambon ia selalu ikut meliput dan mendokumentasi secara visual. Dari hasil karya foto, wartawan foto perang ini pada 17 Agustus 195, ia dianugerahi bintang oleh Pemerintah Republik Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar